A Man Called Ove (2015)

116 min|Comedy, Drama, Romance|30 Sep 2016
7.7Rating: 7.7 / 10 from 68,019 usersMetascore: 70
Ove, an ill-tempered, isolated retiree who spends his days enforcing block association rules and visiting his wife's grave, has finally given up on life just as an unlikely friendship develops with his boisterous new neighbors.

Ove (Rolf Lassgard) adalah seorang laki-laki paruh baya yang kaku, pemarah, dan terkesan anti sosial. Di usianya yang ke-59 dia baru saja dipecat dari perusahaan tempat dia bekerja selama 43 tahun lamanya. Keseharian ove terasa monoton, dia mengecek keamanan kompleks tempat tinggalnya, seperti pintu-pintu garasi, pagar yang dipenuhi dengan berbagai rambu, dan lainnya. Ove juga hampir selalu bertikai dengan setiap warga sekitar yang dianggapnya menyalahi aturan yang telah di tetapkan dalam komunitas tersebut, konyolnya lagi tidak hanya manusia termasuk kucing yang ada di kompleksnya. Ove juga selalu mengunjungi istrinya yang sudah meninggal, Sonja (Ida Engvoll) sambil berbicara dengannya, mengutarakan semua keluhannya atas apa yang terjadi di kehidupan sekitarnya. Begitulah keseharian Ove, lelaki yang hidup dalam bayang-bayang kematian orang yang dicintai. Merasa hidupnya tak lagi berguna Ove memutuskan untuk bunuh diri. Dalam usahanya untuk bunuh diri, tanpa diduga Ove selalu menemui kegagalan kerena tingkah polah para tetangganya, khususnya Parvaneh (Bahar Pars) yang menjadi tetangga terdekat Ove.

A Man Called Ove adalah sebuah film karya sutradara Swedia Hannes Holm dari novel best seller berjudul sama karya Fredrik Backman. Film ini juga mendapat nominasi dalam pagelaran Academy Award yang ke-89 lalu untuk dua kategori, yaitu Best Foreign Language Film (Film berbahasa asing terbaik) serta kategori Makeup and Hairstyling (Tata RIas dan Makeup terbaik).

A Man Called Ove adalah film yang kental dengan nuansa komedi hitam. Ove sebagai karakter sentral mampu dengan baik mentransformasi tragedi dalam hidupnya yang sebernarnya menyedihkan tetapi malah terasa lucu tanpa menghilangkan makna yang tersirat. Keragaman aspek kehidupan dijadikan target humor dalam film ini. Seperti kebijakan harga di supermarket, homoseksual, parenting, kebijakan dewan kota, persahabatan, cinta, kematian hingga pabrikan mobil dengan baik dikemas menjadi suatu kelucuan tersendiri yang akan membuat kita tertawa.

Baca Juga  Cici

Teknik kilas-balik dalam menggambarkan masa lalu Ove ditampilkan dengan baik. Kilas-balik ini muncul seiring dengan usaha Ove untuk bunuh diri. Inilah yang membuatnya terasa lebih menyentuh. Dari sinilah kita bisa melihat Ove yang lain, jauh dari gambaran Ove tua yang kita lihat sebelumnya. Ove muda hadir dengan kehidupan yang lebih berwarna. Terkadang sedih, bahagia, tragis dan juga romantis. Seperti ketika dia bertemu dengan Sonja dan kemudian menjalani hari demi hari bersama. Sebenarnya gambaran masa lalu Ove ini tidaklah istimewa bahkan bisa dibilang biasa saja, kita mungkin akan menjumpai hal sejenis dalam film-film lain, tapi entah kenapa kita masih merasakan emosi mendalam dari situ. Dari kilas-balik ini pulalah kita akan mendapat gambaran bahwa Ove pada dasarnya adalah seseorang yang berkepribadian baik.

Dari segi akting Rolf Lassgard dan Bahar Pars adalah elemen penting dalam keberhasilan film ini. Kemampuan akting keduanya berhasil menyakinkan kita akan hubungan chemistry ayah-anak yang terjalin. Parvaneh seorang “anak” yang selalu merepotkan dan Ove “ayah” yang keras kepala. Selalu saja ada yang mereka ributkan. Seperti hal sepele tentang masalah parkir dan juga ketika Ove mengajari Parvaneh menyetir mobil. Setting film juga sangat mendukung, kompleks perumahan yang nyaman beserta aktifitas setiap warganya sangat mendukung pesan yang ingin disampaikan dalam film ini.

Pesan filmnya sederhana tapi sangat relevan dalam kehidupan sosial khususnya di negara maju, dimana ketidakpedulian dan tidak percaya satu sama lain telah menjadi ciri tersendiri kehidupan masyarakat modern. All you think everyone on this planet can manage without help. But you know what, Ove? No one manages alone. No one. Not even you. Itulah yang diucapkan Parvaneh dalam sebuah adegan di rumahnya. Ya tidak ada yang bisa hidup sendiri. Setiap orang harus saling membantu satu sama lain. Siapapun itu tak terkecuali seorang idiot sekalipun.

WATCH TRAILER

Artikel SebelumnyaKapitalisme dalam Seri James Bond
Artikel BerikutnyaSalawaku
Febrian Andhika lahir di Nganjuk, 18 Februari 1987. Ia mulai serius mendalam film sejak kuliah di Akademi Film di Yogyakarta. Sejak tahun 2008, ia bergabung bersama Komunitas Film Montase, dan aktif menulis ulasan film untuk Buletin Montase hingga kini montasefilm.com. Ia terlibat dalam semua produksi awal film-film pendek Montase Productions, seperti Grabag, Labirin, 05:55, Superboy, hingga Journey to the Darkness. Superboy (2014) adalah film debut sutradaranya bersama Montase Productions yang meraih naskah dan tata suara terbaik di Ajang Festival Film Indie Yogyakarta 2014, dan menjadi runner up di ajang Festival Video Edukasi 2014. Sejak tahun 2013 bekerja di stasiun TV swasta MNC TV, dan tahun 2015 menjadi editor di stasiun TV Swasta, Metro TV. Di sela kesibukan pekerjaannya, ia menyempatkan untuk menggarap, The Letter (2016), yang merupakan film keduanya bersama Montase Productions. Film ini menjadi finalis dalam ajang Festival Sinema Australia Indonesia 2018.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.