Sing to the Dawn (2008)
93 min|Animation, Family, Musical|30 Oct 2008
5.3Rating: 5.3 / 10 from 63 usersMetascore: N/A
N/A

Meraih Mimpi merupakan film animasi musikal yang disutradarai Phil Mitchell. Film ini diadaptasi dari buku berjudul Sing to the Dawn karya Minfung Ho. Naskah filmnya sendiri ditulis ulang oleh Nia Dinata. Film ini dibintangi (pengisi suara) oleh Gita Gutawa, Patton, Surya Saputra, Indra Bekti, Cut Mini, Shanty, Ria Irawan, dan lainnya. Film berdurasi 93 menit ini merupakan jenis animasi tiga dimensi, terobosan bagi film Indonesia, khususnya film animasi.

Film ini berkisah tentang petualangan seorang gadis bernama Dana (Gita Gutawa) dan adiknya, Rai (Patton). Warga desa tempat Dana tinggal menghadapi masalah yakni rumah-rumah mereka akan digusur paksa karena akan dibangun kawasan perjudian. Keluarga Dana dan warga menerima teror dari anak buah tuan Pairot (Surya Saputra), tuan tanah yang mengklaim tanah desa tersebut miliknya. Namun suatu ketika Dana mendapat info dari seorang kakek bahwa surat wasiat tersebut palsu dan yang asli ternyata ada di sebuah tempat rahasia. Atas petunjuk dari sang kakek, Dana bersama Rai berusaha untuk mencari surat wasiat itu untuk menyelamatkan desanya.

Sebagai film musikal anak-anak, Meraih Mimpi tergolong cukup lumayan. Musik dan lagu yang menjadi penekanan filmnya mampu disajikan dengan apik dalam beberapa adegannya dalam momen yang pas. Beberapa nomor lagu pun dibawakan dengan manis oleh para tokohnya secara bergantian, tentu yang paling dominan adalah Dana (Gita Gutawa). Sayangnya, sekuen musikalnya tidak imbang antara paruh pertama dan kedua. Adapun satu nomor yang menonjol adalah yang dibawakan tuan Pairot yang berniat membangun areal perjudian yang mampu disajikan begitu atraktif dan menarik, tidak kalah dengan film-film animasi musikal luar. Satu kelemahan adalah gerak bibir dengan vocal atau kata-kata yang diucapkan seringkali tidak pas. Gerak bibir terlihat hanya sekedar membuka dan menutup mulut saja.

Baca Juga  Gara-Gara Warisan

Seperti film kita kebanyakan aspek cerita kembali menjadi kelemahan filmnya. Dari sisi cerita sejak awal filmnya sudah tampak tidak fokus. Masalah sengketa tanah yang menjadi inti masalah cerita seolah justru bukan menjadi masalah besar di awal cerita. Masalah kawin paksa justru lebih ditonjolkan sekedar untuk mengulur cerita. Logika cerita juga seperti biasa juga banyak memiliki kelemahan. Berbagai masalah muncul dan solusi langsung datang begitu saja. Masalah surat wasiat palsu (atau asli), bagaimana warga bisa tahu surat itu asli atau palsu. Apa lantas cuma gara-gara omongan si kakek hal tersebut bisa dipercaya? Lalu juga si preman tangan kanan Pairot yang dominan di paruh awal cerita, sama sekali tidak tampak di sekuen klimaks.

Meraih Mimpi yang menjadi judul filmnya bisa pula dipertanyakan. Mimpi siapa? Dana? Ayahnya? Pairot? Atau semuanya? Beasiswa yang menjadi impian utama Dana justu sedikit kabur oleh masalah sengketa tanah. Belum lagi tokoh-tokoh hewan yang maunya menjadi variasi cenderung malah menganggu cerita keseluruhan. Penggunaan aksen (hewan) yang beragam dan tidak pas dengan karakternya justru malah membuat dialog sulit untuk dimengerti. Terlepas dari berbagai kelemahannya usaha Meraih Mimpi untuk melakukan terobosan bagi perkembangan film animasi di negeri ini patut kita acungi jempol.

WATCH TRAILER

Artikel SebelumnyaFestival Film Dokumenter 2009
Artikel BerikutnyaIdentitas, “Identitas” Sinema Indonesia?
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.