Anime (animasi Jepang) merupakan salah satu fenomena unik dalam sejarah perkembangan film dunia. Anime kini merupakan salah satu industri hiburan terbesar di Jepang dan mungkin satu-satunya yang mampu bersaing dengan film-film animasi buatan Amerika. Anime menawarkan bentuk serta gaya yang khas dengan tingkat imajinasi serta unsur fantasi yang tidak akan kita temui dalam film-film animasi Amerika.<

Perkembangan anime tidak bisa lepas dari perkembangan manga (komik Jepang) yang telah populer sejak awal abad 20. Dimulai tahun 1914, para kartunis Jepang tersebut mulai tertarik dan bereksperimen pada medium film. Tercatat film animasi pendek yang sukses pertama adalah Momotaro (1918). Selanjutnya perkembangan anime terhitung sangat lambat hingga perang dunia kedua. Setelah perang berakhir, seorang kartunis muda berbakat bernama Osamu Tezuka memproduksi manga berpengaruh, yaitu Shintakarajima (1947). Karyanya sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokoh kartun Disney serta Max Fleicher di era 30-an yang memiliki karakter dengan kepala bundar serta mata yang besar. Kelak Tezuka dijuluki “Bapak manga dan anime Jepang”.

Beberapa tahun kemudian untuk bersaing dengan film-film animasi produksi Amerika berdirilah dua studio animasi besar yakni, Toei Animation serta Mushi Production. Dua studio ini menekankan pada produksi animasi layar lebar serta seri televisi. Seri animasi televisi yang terpopuler adalah Tetsuwan Atom (Astro Boy/1963) karya Tezuka yang diadaptasi dari manga karyanya. Ratusan episodenya bahkan ditayangkan TV NBC (AS) dengan rating yang tinggi. Seri anime populer lainnya seperti, Gigantor, Tobor, Jungle Emperor, serta Speed Racer tak lama turut mengekor Di era 70-an genre fiksi-ilmiah mulai merambah anime, seperti yang populer antara lain, Uchu Senkan Yamato, Uchu Kaizoku Captain Harlock, serta MS Gundam. Sementara animator berbakat Hayao Miyazaki mulai menarik perhatian pengamat melalui Future Boy Conan (1978) dan Lupin III: The Castle of Cagliostro (1979).

Baca Juga  My Neighbor Totoro, Kombinasi Imajinasi dan Falsafah Hidup

Era 80-an merupakan periode emas perkembangan anime. Sukses dari dua film versi layar lebar, Yamato dan Gundam merupakan awal dari booming anime di era ini. Anime juga mulai merambah ke pasar video dalam bentuk Original Video Animation (OVA). Film yang tercatat paling berpengaruh di era ini adalah Nausicaä of the Valley of the Wind (1986) yang suksesnya memicu didirikannya studio Ghibli yang dimotori Miyazaki. Studio ini memproduksi film-film sukses seperti Laputa: Castle in the Sky (1986), My Neighbor Totoro (1988), serta Kiki’s Delivery Service (1989). Film-film lain yang berpengaruh adalah Grave of the Fireflies (1987) serta fiksi-ilmiah, Akira (1989) yang flop di negaranya namun sukses internasional. Era 90-an mencatat film kontroversial Neon Genesis Evangelion (1995) menjadi pemicu tren anime robot raksasa dengan plot rumit. Seri-seri populer seperti Sailor Moon, Dragon Ball, serta Pokemon bermunculan dan sukses di luar Jepang. Hayao Miyazaki membawa anime ke level yang lebih tinggi melalui film-film fantasinya seperti Princess Mononoke (1997), Spirited Away (2002), serta Howl’s Moving Castle (2004). Hingga kini industri anime tercatat sebagai industri animasi yang paling produktif serta kreatif di dunia. Anime juga banyak mempengaruhi film-film barat seperti tampak pada Animatrix, Kill Bill Vol.1, Speed Racer, serta seri Avatar.

 

https://www.youtube.com/watch?v=fRL_jSLZ6YQ

Artikel SebelumnyaMy Neighbor Totoro, Kombinasi Imajinasi dan Falsafah Hidup
Artikel BerikutnyaPersepolis, Animasi Otobiografi Bernuansa Politis
His hobby has been watching films since childhood, and he studied film theory and history autodidactically after graduating from architectural studies. He started writing articles and reviewing films in 2006. Due to his experience, the author was drawn to become a teaching staff at the private Television and Film Academy in Yogyakarta, where he taught Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory from 2003 to 2019. His debut film book, "Understanding Film," was published in 2008, which divides film art into narrative and cinematic elements. The second edition of the book, "Understanding Film," was published in 2018. This book has become a favorite reference for film and communication academics throughout Indonesia. He was also involved in writing the Montase Film Bulletin Compilation Book Vol. 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Additionally, he authored the "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). Until now, he continues to write reviews of the latest films at montasefilm.com and is actively involved in all film productions at the Montase Film Community. His short films have received high appreciation at many festivals, both local and international. Recently, his writing was included in the shortlist (top 15) of Best Film Criticism at the 2022 Indonesian Film Festival. From 2022 until now, he has also been a practitioner-lecturer for the Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts in the Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.