Awal Sinema Indonesia (1926-1949)

Pada masa penjajahan Belanda sekitar tahun 1900-an masyarakat kita sudah mengenal adanya film atau yang lebih dikenal dengan “Gambar Hidoep”. Hal ini dibuktikan dengan adanya koran Bintang Betawi No.278, 5 Desember 1900 yang memuat iklan bioskop. Seni pertunjukkan film pada masa itu diselenggarakan oleh orang Belanda. Jenis bioskop terbagi menjadi tiga golongan berdasarkan status penonton, yaitu bioskop untuk orang Eropa, bioskop orang menengah, dan golongan orang pinggiran. Pada tahun 1925 sebuah artikel di koran masa itu, De Locomotif, memberi usulan untuk membuat film. Pada tahun 1926 dua orang Belanda bernama L. Heuveldorp dan G.Kruger mendirikan perusahaan film, Java Film Coy di Bandung dan pada tahun yang sama mereka memproduksi film pertamanya berjudul Loetoeng Kasarung (1926), yang diangkat dari legenda Sunda. Film ini tercatat sebagai film pertama yang diproduksi di Indonesia dan ini dianggap sebagai sejarah awal perfilman Indonesia. Film ini diputar perdana pada 31 Desember 1926. Film berikutnya yang diproduksi adalah Eulis Atjih (1927) berkisah tentang istri yang disia-siakan oleh suaminya yang suka foya-foya.

Dalam perkembangan berikutnya banyak bermunculan studio film yang dinominasi oleh orang-orang Cina. Pada tahun 1928 Wong Brothers dari Cina (Nelson Wong, Joshua Wong, dan Othniel Wong) mendirikan perusahaan film bernama Halimun Film dan memproduksi film pertamanya Lily Van Java (1928). Film ini berkisah tentang seorang gadis Cina yang dipaksa untuk menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya, padahal ia telah memiliki kekasih. Film ini sendiri kurang disukai oleh penonton pada masa itu. Wong Brothers akhirnya mendirikan perusahaan film baru bernama Batavia Film. Selain Wong Brothers, ada pula Tan’s Film, Nansing Film dan perusahaan milik Tan Boen Swan. Nansing Film dan perusahaan Tan Boen Swan memproduksi Resia Borobudur (1928) dan Setangan Berloemoer Darah (1928).

Setelah L.Heuveldorp menarik diri, G.Kruger mendirikan perusahaan film sendiri bernama Kruger Filmbedriff, yang memproduksi, Karnadi Anemer Bangkong (1930) dan Atma De Visher (1931). Selain itu orang Belanda lainnya yaitu F.Carli yang mendirikan perusahaan film bernama Cosmos Film Corp atau Kinowerk Carli yang memproduksi De Stem des Bloed (Nyai Siti, 1930) yang berkisah mengenai orang Indo, lalu juga Karina’s Zelfopoffering (1932). Sedangkan Tan’s Film dan Batavia Film pada tahun 1930 memproduksi Nyai Dasima (1930), Si Tjonat (1930), Sedangkan Halimun film memproduksi Lari Ke Arab (1930).

Masuk era film bicara, tercatat dua film tercatat sebagai film bicara Indonesia pertama adalah Nyai Dasima (1931) yang di-remake oleh Tan’s Film serta Zuster Theresia (1931) produksi Halimun Film. Masa ini juga muncul The Teng Chun yang mendirikan perusahaan The Teng Chun ”Cino Motion Pict” dan memproduksi Boenga Roos dari Tjikembang(1931) dan Sam Pek Eng Tai (1931). Sasarannya adalah orang-orang Cina dan kisahnya pun masih berbau budaya Cina. Sementara Wong Brothers juga memproduksi Tjo Speelt Voor de Film (1931). Sedangkan Kruger dan Tans’s berkolaborasi memproduksi Terpaksa Menikah (1932). Di penghujung tahun 1932 beredar rumor kuat akan didirikan perusahaan film asal Amerika. Semua produser menjadi takut karena tak akan bisa menyaingi dan akhirnya Carli, Kruger dan Tan’s Film berhenti untuk memproduksi film. Studio yang masih bertahan adalah Cino Motion Picture.

Baca Juga  Seminar FFWI 2023: Cerita Viral Jaminan Box Office?

Beberapa tahun setelahnya muncul seorang wartawan Albert Balink yang mendirikan perusahaan Java Pasific Film dan bersama Wong Brothers memproduksi Pareh (1935). Film ini dipuji pengamat namun tidak sukses komersil. Balink dan Wong akhirnya sama-sama bangkrut. Pada tahun 1937, Balink mendirikan studio film modern di daerah Polonia Batavia yang bernama ANIF (Algemeene Nederland Indie Film Syndicaat) dan memproduksi Terang Boelan/Het Eilan der Droomen (1937). Film ini berkisah tentang lika-liku dua orang kekasih di sebuah tempat bernama Sawoba. Sawoba adalah sebuah tempat khayalan yang merupakan singkatan dari SA(eroen), Wo(ng), BA(link) yang tak lain adalah nama-nama penulis naskah, penata kamera, editor, dan sutradaranya sendiri. Walau meniru gaya film Hollywood The Jungle Princess (1936) yang diperankan Dorothy Lamoure namun film ini memasukkan unsur lokal seperti musik keroncong serta lelucon yang diadaptasi dari seni panggung. Film ini sukses secara komersil dan distribusinya bahkan sampai ke Singapura. Pemeran utama wanitanya, Rockiah setelah bermain di film ini menjadi bintang film paling terkenal pada masa itu. Kala ini Terang Boelan (1937) adalah film yang amat populer sehingga banyak perusahaan yang menggunakan resep cerita yang sama.

Pada tahun 1939 banyak bermunculan studio-studio baru seperti, Oriental Film, Mayestic Film, Populer Film, Union Film, dan Standard Film. Film-film populer yang muncul antara lain Alang-alang (1939) dan Rentjong Atjeh (1940). Pada masa ini pula kaum pribumi mulai diberi kesempatan untuk menjadi sutradara yang perannya hanya sebagai pelatih akting dan dialog. Justru yang paling berkuasa pada masa itu adalah penata kamera yang didominasi orang Cina. Pada era ini pula muncul kritik dari kalangan intelek untuk membuat film yang lebih berkualitas yang dijawab melalui film, Djantoeng Hati (1941) dan Asmara Moerni (1941). Para pemain dari kedua film ini didominasi kaum terpelajar namun karena dirasa terlalu berat, para produsen film akhirnya kembali ke tren awal melalui film-film ringan seperti Serigala Item (1941), Tengkorak Hidup (1941).

Pada akhir tahun 1941, Jepang menguasai Indonesia. Semua studio film ditutup dan dijadikan media propaganda perang oleh Jepang. Jepang mendirikan studio film yang bernama Nippon Eiga Sha. Studio ini banyak memproduksi film dokumenter untuk propaganda perang. Sementara film cerita yang diproduksi antara lain Berdjoang (1943) yang disutradarai oleh seorang pribumi, Rd. Arifin namun didampingi oleh sutradara Jepang, Bunjin Kurata. Pasca kemerdekaan RI pada tahun 1945, studio film milik Jepang yang sudah menjadi kementerian RI direbut oleh Belanda dan berganti nama Multi Film. Film-film yang diproduksi antara lain Djauh Dimata (1948) dan Gadis Desa (1948) yang diarahkan oleh Andjar Asmara. Di era ini pula muncul nama Usmar Ismail yang kelak akan menjadi pelopor gerakan film nasional. Pada tahun ini pula, 1949, para produser Cina lama mulai berani mendirikan studio lagi. The Theng Chun dan Fred Young mendirikan Bintang Surabaja. Tan Koen Youw bersama Wong mendirikan Tan & Wong Bros. Salah satu film produksi Tan & Wong Bros yang populer adalah Air Mata Mengalir Di Tjitarum (1948).

1
2
3
4
Artikel SebelumnyaDarah dan Doa
Artikel BerikutnyaDari Redaksi mOntase
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.