Era Film Bisu

Sejak awal perkembangan sinema industri film Hong Kong berjalan berdampingan bersama industri film China yang berpusat di Shanghai. Opera Cina yang telah ada sejak ribuan tahun silam menjadi akar bagi medium film. Adapun film yang seringkali dianggap sebagai film Hong Kong pertama adalah dua film komedi pendek berjudul Stealing a Roasted Duck dan Right a Wrong with Earthenware Dish masing-masing pada tahun 1909. Film ini disutradarai Liang Shaobo yang juga seorang aktor dan sutradara Opera. Sementara orang yang berjasa di balik awal perkembangan sinema Hong Kong adalah seorang Amerika, Benjamin Brodsky. Brodsky juga turut andil memproduksi film panjang Hong Kong pertama (berdurasi 2 rol) yakni, Zhuangzi Tests His Wife (1913). Film yang diadaptasi dari pertunjukan opera ini diarahkan oleh Lai Man-wai yang kelak dijuluki sebagai Bapak Sinema Hong Kong.

Perkembangan selanjutnya sulit untuk dilacak karena hanya sedikit saja film yang selamat dari perang dunia pertama. Perang juga menghambat perkembangan film di Hong Kong karena industri film sangat bergantung pada stok (negatif) film dari Jerman. Hingga akhirnya pada tahun 1923, Lai Man-wai bersama dua saudaranya begabung bersama Liang Shaobo untuk mendirikan studio lokal pertama di Hong Kong yakni, Minxin Studio atau juga dikenal China Sun Motion Picture Company. Pada tahun 1925, Lai memproduksi film panjang pertama yakni, Rogue yang juga sukses komersil. Namun demonstrasi buruh yang melanda Hong Kong pada saat itu memaksa Lai memindahkan operasinya ke Shanghai.

Era Film Bicara – Perang Dunia II

Kedatangan teknologi suara serta demonstrasi yang mulai mereda di Hong Kong mengubah industri film sangat drastis. Rakyat Cina mayoritas menggunakan bahasa mandarin namun bahasa kanton lebih lazim digunakan warga Hong Kong. Para produser Cina melihat peluang emas ini dan mulai mendirikan studio di Hong Kong untuk memproduksi film-film berbahasa kanton. Perang antara Cina – Jepang yang pecah di tahun 1937 juga memaksa para pelaku industri film di Shanghai pindah ke Hong Kong. Hong Kong selama beberapa waktu menjadi surga bagi para pelaku industri asal Shanghai. Studio-studio besar seperti, Grandview, Tian Yi, Universal, dan Nanyue didirikan. Film-film bergenre adaptasi opera terbukti adalah yang paling sukses pada dekade ini. Hingga akhirnya pada tahun 1941, Jepang menginvasi Hong Kong dan praktis industri film mati total.

Baca Juga  Babi Buta yang Ingin Terbang

Selama era 30-an ini selain film-film adaptasi opera beberapa genre baru bermunculan yakni, perang (propaganda anti Jepang) serta silat. Ketegangan dengan Jepang membuat film-film perang bertema patriotisme dan nasionalis menjadi tema yang populer sejak pertengahan 30-an, seperti Lifeline (1935), Hand to Hand Combat (1937), dan March of the Partisans (1938). Sementara genre silat (umumnya menggunakan pedang) sebenarnya telah populer sejak akhir dekade lalu terutama di Cina melalui adaptasi novel-novel wuxia yang kala itu sangat populer disajikan berseri di surat kabar. Namun pada awal era 30-an pemerintah Cina melarang produksi film-film silat pedang karena dinilai mengandung unsur kekerasan dan tahyul. Hal ini membuat Hong Kong yang merupakan koloni Inggris menjadi sasaran alternatif. Tercatat film silat berbahasa kanton pertama yang diproduksi di Hong Kong adalah The Adamed Pavilion (1938). Setelah perang berakhir kelak silat (dan kung-fu) adalah salah satu genre paling berpengaruh dalam sejarah industri perfilman Hong-Kong.

1
2
3
4
Artikel SebelumnyaThe Way of The Dragon, Kombinasi Aksi, Komedi, dan Western
Artikel BerikutnyaDari Redaksi mOntase
His hobby has been watching films since childhood, and he studied film theory and history autodidactically after graduating from architectural studies. He started writing articles and reviewing films in 2006. Due to his experience, the author was drawn to become a teaching staff at the private Television and Film Academy in Yogyakarta, where he taught Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory from 2003 to 2019. His debut film book, "Understanding Film," was published in 2008, which divides film art into narrative and cinematic elements. The second edition of the book, "Understanding Film," was published in 2018. This book has become a favorite reference for film and communication academics throughout Indonesia. He was also involved in writing the Montase Film Bulletin Compilation Book Vol. 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Additionally, he authored the "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). Until now, he continues to write reviews of the latest films at montasefilm.com and is actively involved in all film productions at the Montase Film Community. His short films have received high appreciation at many festivals, both local and international. Recently, his writing was included in the shortlist (top 15) of Best Film Criticism at the 2022 Indonesian Film Festival. From 2022 until now, he has also been a practitioner-lecturer for the Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts in the Independent Practitioner Program.

1 TANGGAPAN

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.