Sejarah, politik, horor, dan gore merupakan kombinasi langka dalam medium film. 1978 adalah film horor gore produksi Argentina yang digarap dan ditulis oleh duo sineas, Nicolas dan Luciano Onetti. Film ini dibintangi para pemain lokal, yakni Agustin Pardella, Carlos Portaluppi, Mario Alarcon, Agustin Olcense, Maria Eugenia Rigon, dan Paula Silva. Mengawali rilisnya pada ajang sirkuit festival, 1978 diputar serentak pada teater-teater lokal di negaranya pada bulan Maret lalu. Pada ajang Jeonju IFF 2025, 1978 diputar pada sesi Midnight Cinema dengan lima kali pemutaran.

Berlatar Argentina pada periode junta militer (1974-1983), di mana penguasa militer melakukan kudeta serta menangkap, menyiksa, dan membunuh simpatisan kelompok pembelot yang sebagian besar adalah generasi muda. Pada suatu petang ketika tim sepakbola Argentina bertemu Belanda di Piala Dunia tahun 1978, sekelompok oknum militer di bawah pimpinan Moro (Alarcon) menyiksa beberapa tahanan untuk mendapatkan info keberadaan anggota lainnya. Tak lama, mereka pun menangkap beberapa muda-mudi dan kembali ke tempat penahanan. Tanpa  mereka sadari, muda-mudi yang mereka tangkap, rupanya adalah para pemuja setan yang tengah mengadakan ritual pembangkitan sang iblis. Sontak, neraka pun pindah ke tempat penahanan tersebut.

Filmnya dibuka dengan gaya berkelas melalui satu pengadeganan (permainan poker) yang brutal. Nuansa horor pun telah terlihat melalui set yang suram dan gelap, serta musik yang mencekam. Saya beruntung, tidak membaca sinopsis serta melihat trailer film ini sebelumnya, dan benar-benar berpikir ini adalah thiller politik murni (senada I’m Still Here yang juga diputar di festival ini). Politik adalah horor. Ini adalah satu pendekatan estetik yang brilian dengan mengemas satu peristiwa paling mengerikan dalam sejarah Argentina. Momen ini pun dikemas bersamaan dengan proses kemenangan Argentina di Piala Dunia. Tentu ini kontras dengan semua yang terjadi di ruang penahanan. Semua berjalan mulus, tidak hingga satu “twist” muncul dan sesuatu yang lebih buruk pun terjadi.

Baca Juga  Watchmen

Separuh durasi setelahnya adalah plot klise genre horor yang berisi bagaimana para pengikut sang iblis menghabisi semua orang di tempat penahanan. Tak banyak basa-basi dan nyaris tak ada kelokan cerita berarti, semua berlangsung cepat dan mematikan. Sang ibu yang tengah mengandung, bagi penikmat genrenya, tentu tak sulit untuk menerka jika ia mengandung anak iblis. Satu hal yang amat disayangkan adalah motif kehadiran sang iblis yang terasa kurang mewakili premis di awal. Kuasa gelap adalah representasi sempurna dari semua aksi kebiadaban dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di muka bumi. Terdapat satu kilas balik yang mencoba menarik kisahnya ke sana (sang bocah dan orang tuanya tewas di ranjang), namun hal ini tidak terjelaskan dengan gamblang.

1978 mengawali dengan sempurna melalui tone politiknya, namun plotnya berubah menjadi tipikal horor gore tanpa banyak mengeksplorasi kedalaman premisnya. 1978 melewatkan sebuah kesempatan untuk memberi pesan yang bisa dieksplorasi lebih dalam. Film-film horor berkualitas produksi Iran, sebut saja Under the Shadow, A Girl Walks Home Alone at Night, hingga The Night, telah memberikan contoh berkelas dalam memadukan pendekatan horor dengan politik. Film-film bertema zombi macam The Cured (Irlandia) hingga Infection (Venezuela) yang juga kental dengan nuansa politik. Namun untuk pecinta horor, 1978 terhitung adalah film unik melalui sentuhan plotnya yang segar.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaThe Message | Jeonju IFF 2025
Artikel BerikutnyaThe Gesuidouz | Jeonju IFF 2025
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses