Empat tahun berselang setelah Hiruk Pikuk si Al-Kisah (2019), Yosep Anggi Noen mengarahkan 24 Jam Bersama Gaspar. Skenarionya ditulis oleh Mohammad Irfan Ramly. Ceritanya didasarkan dari novel berjudul sama karya Sabda Armandio. Produksinya berkolaborasi antara Visinema Pictures, KawanKawan Film, Legacy Pictures, dan KawanKawan Media. Kisah roman kriminal yang dirilis di Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF 2023) ini diperankan oleh Reza Rahadian, Shenina Cinnamon, Laura Basuki, Kristo Immanuel, Sal Priadi, Dewi Irawan, dan Landung Simatupang. Pasca-Hiruk Pikuk, apakah Gaspar bakal “sedikit” lebih ramah khalayak awam?
Kota tempat tinggal Gaspar (Reza) hanyalah wilayah suram, kumuh, dan tak terurus dengan kriminalitas sembunyi-sembunyinya. Sembari kecintaannya akan praktik detektif masih langgeng sejak kecil, Gaspar mencari seorang teman spesialnya semasa kecil. Ia dibantu Agnes (Shenina), yang tak tega membiarkannya wara-wiri dengan masalah kesehatannya. Sampai pencariannya berujung pada satu nama, Wan Ali (Landung), yang amat dikenalnya dahulu. Apalagi fakta hubungan Wan Ali dengan seseorang yang tengah ia cari. Namun, perjalanannya menuju Wan Ali tak semulus rencana dalam pikirannya.
Masih mengulang kecenderungan Noen sejak Istirahatlah Kata-Kata (2016) dan Hiruk Pikuk si Al-Kisah dengan “kebelet” sastranya. Tak hendak memberi perhatian terhadap penceritaan dan perkembangannya di sepanjang film berjalan, agar betul-betul tersampaikan kepada penonton. Sejumlah simbol mengandung maksud yang tak semua orang mampu terima, atau setidaknya menyiratkan bahwa itu adalah simbol. Dalam dua lini masa yang secara silih berganti menampilkan kehidupan Gaspar pada masa depan dan saat masih anak-anak (Ali Fikry), cerita berjalan hanya tentang masalah kesehatan Gaspar dan upayanya menemukan seseorang. Mestinya demikian. Namun, malah muncul insert-insert yang tak berkorelasi –atau tak tersampaikan korelasinya—dengan cerita.
24 Jam Bersama Gaspar pun malah berfokus pada dialog-dialog baku serta metafora ihwal kehidupan dan kematian. Sebisa mungkin menciptakan situasi agar sang tokoh utama dapat mengutarakan isi pikirannya tentang kematian kepada tokoh-tokoh lain. Sisanya tidak penting. Korelasi era digital di masa depan dengan masalah Gaspar, adanya wabah terhadap keberadaan Kirana, logika taraf ekonomi Wan Ali dengan barang-barang miliknya, hingga ending yang tiba-tiba melompat jauh menjadi sangat absurd. Memang benar saat ada yang bilang, Noen mengacak-acak cerita ketika mengejawantahkan dari buku ke film. Hasil jadinya saja amburadul. Seakan tampak segar dan luar biasa dengan pengemasan cerita yang berbeda tak lantas menjadikannya istimewa. Ia lupa bahwa berbeda saja tak cukup.
Visual filmnya memang menyenangkan dan mendukung unsur kriminalitas kota dengan segala distopianya. Bangunan-bangunan dan jalanan suram ala set undercover sebuah kota. Namun, hanya itu. Pun demikian eksekusi segmen laga dengan perkelahian yang masih sama saja dengan tahun-tahun ini (awal 2020-an). Latar waktu dalam film ini sama sekali tak direspons dengan baik. Kecuali sekadar soal adanya wabah pada masa depan dan para pejabat memonopoli obat-obatannya. Terlalu banyak informasi muncul tanpa ada kaitannya dengan cerita. Minimal tampak ada kaitannya pun tidak. Bahkan bila Gaspar mengambil latar waktu tahun-tahun ini, ceritanya masih bisa berjalan dengan baik. Lantas apa urgensi latar waktu masa depannya?
Sukar pula melihat Gaspar adalah Reza dan Reza sebagai Gaspar. Apa ciri fisik yang menunjukkan bahwa sosok yang sedang diperankan Reza ialah Gaspar? Bahwa yang sedang tampil di layar adalah Reza sebagai Gaspar. Malah lebih gampang membayangkan Gaspar diperankan aktor lain yang lebih berkarakter secara visual, daripada Reza. Secara olah peran, apa pula perbedaan dia sebagai Gaspar dengan dia sebagai Adam dalam Berbalas Kejam (2023)? Sama-sama karakter pembalas dendam lagipula.
Kecuali dia, pemeran-pemeran lain justru lebih cocok dengan karakter yang mereka mainkan masing-masing. Dewi Irawan dan Sal paling mencuri perhatian melalui peran mereka sebagai ibu dan anak. Meski juga sama tak menunjukkan ciri fisik tertentu, tetapi gestur, cara bicara, serta dialog-dialog yang terlontar dari mereka sudah menutupinya.
24 Jam Bersama Gaspar lagi-lagi hanyalah ambisi sutradara yang “kebelet” nya(s)astra, tetapi abai dengan logika cerita. Gaspar seakan bercerita dengan tak biasa, tetapi lupa memastikan ketidakbiasaannya mampu tersampaikan dengan baik. Absurditasnya pun asal saja. Terlepas dari penghargaan yang telah dibawa pulang film ini untuk kategori skenario, ada banyak cacat dalam skenario itu sendiri. Gaspar hanya dapat dinikmati dengan nyaman melalui penampilan Dewi Irawan dan Sal sebagai Bu Tati dan Yadi, serta latar kotanya. Hanya itu. Tak lebih, tak kurang. Di luar semua perkara dalam penyampaian film ini, 24 Jam Bersama Gaspar dikabarkan bakal rilis nasional pada awal tahun depan.