Tiga Srikandi merupakan film bergenre drama olahraga yang terinspirasi oleh kejadian nyata. Tiga pemanah Indonesia yang berhasil merebut medali perak di ajang Olympiade Seoul tahun 1988 menjadi atlet yang pertama kali meraih medali di ajang Olimpiade untuk Indonesia. Ketiga pemanah putri ini adalah Nurfitriyana (Bunga Citra Lestari), Lilies Handayani (Chelsea Islan), dan Kusuma Wardhani (Tara Basro). Film ini berusaha merekonstruksi proses mereka bertiga ketika di pelatnas hingga momen ajang dunia tersebut. Di pelatnas mereka dilatih oleh seorang pemanah legendaris Indonesia Donald Pandiangan (Reza Rahardian) yang sering dijuluki robinhood Indonesia. Setelah menjalani beberapa seleksi pelatnas akhirnya ketiga pemanah putri ini menjadi delegasi Indonesia yang dilatih secara intensif.

Plot film ini berjalan cukup baik dari awal hingga akhir film. Plot cerita di awal yang menggambarkan background mereka sudah cukup baik menggambarkan karakter utama dan masalah keluarga yang mereka hadapi. Yana dan Suma kerap dibenturkan dengan masalah desakan keluarga untuk hidup aman, menjadi pegawai negeri sipil dan pilihan menjadi atlet yang masih tak menentu masa depannya kala itu. Berbeda dengan Lilies yang berasal dari keluarga atlet mendapat dukungan penuh dari sang ibu. Satu opening credit disajikan melalui teknik montage juga cukup baik menggambarkan background tentang siapa Donald Pandiangan.

Separuh plot filmnya memang terfokus pada proses Donald melatih ketiga atlet tersebut. Hal yang menarik secara dramatik terletak pada bagaimana Donald melatih mereka dengan metode-metode khas yang ia yakini. Salah satu intensifnya latihan mereka kembali ditunjukkan dengan teknik montage yang sangat kuat untuk menggambarkan bagaimana mereka berlatih. Masa lalu Donald yang tak bisa mengikuti olimpiade Moscow karena masalah politik, menjadi spirit bagi cerita filmnya untuk menyalurkan ambisi serta semangat Donald bagi ketiga atlet didiknya. Klimaks cerita pada momen pertandingan menjadi ajang yang ditunggu-tunggu memberikan kesan kita seolah langsung menonton pertandingannya. Ending credit yang memperlihatkan dokumentasi berupa foto-foto kejadian sesungguhnya menjadi informasi yang mendukung filmnya pula.

Baca Juga  Mendadak Dangdut, Benar-Benar "Dangdut"

Secara teknis film ini sudah lumayan mapan. Setting cerita yang mengambil rentan waktu era 80-an juga bisa mengambarkan suasana dan nuansa klasik era tersebut dari sisi lokasi, kostum, make-up, properti, serta Video footage di opening credit. Musik dan lagu memunculkan beberapa nomor era 80-an juga membantu membangun tone filmnya. Film kita yang bergenre olahraga tergolong masih amat minim. Beberapa sineas telah mengawali dengan film-film seperti Garuda di Dadaku (2009) dan King (2009). Film 3 Srikandi ini memilki poin penting karena diadaptasi dari kisah nyata dan dengan prestasinya menjadi tonggak penting bagi bangsa ini. Film-film seperti inilah yang saya kira perlu digali dan dikembangkan untuk menanamkan semangat nasionalisme bagi bangsa dan negara. Genre olahraga sebagai medium film menjadi sarana yang paling efektif untuk menanamkan semangat persatuan dan sportivitas.

WATCH TRAILER

https://www.youtube.com/watch?v=-sfuXpBIsCA

Artikel SebelumnyaSuicide Squad
Artikel BerikutnyaFans DC Ajukan Petisi Menutup Rotten Tomatoes
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses