Penonton film seri James Bond pasti tahu bahwa gadis-gadis Bond ini memiliki pesona dengan berbagai tipe. Mulai dari gadis pintar dan lembut hingga gadis “Femme Fatale” (perempuan misterius dan seduktif yang membahayakan) yang menjadi tandingan Bond. Gadis Bond (Bond Girl) selalu diperlihatkan secara seksi, dengan adegan-adegan yang secara langsung dan tidak langsung mempertontonkan seksualitas. Adegan mesra dalam film James Bond memang tidak mengumbar bagian-bagian tubuh perempuan secara eksplisit seperti di film-film Hollywood lainnya, tetapi bukan berarti seksualitas perempuan di sini tidak dikomodifikasikan sama sekali.
Berhadapan dengan representasi perempuan seksi dalam film tersebut, Bond digambarkan sebagai laki-laki maskulin yang pandai merayu hingga perempuan tertarik dan bersedia untuk melakukan hubungan seksual. Dalam film-film Bond, adegan seksual ini diperlihatkan saat seorang Bond yang merupakan agen rahasia andalan dan selalu sukses dalam setiap misinya sedang dalam menjalankan misi. Disini terlihat kesempurnaan sosok Bond juga didukung dengan kehidupan seksualnya. Karakteristik kehidupan seksual dari seorang manusia dianggap representasi sempurna dari kepribadian secara keseluruhan (Fromm, 2007:168). Selain komodifikasi tubuh perempuan, berbagai hal yang berhubungan dengan seksualitas perempuan juga diangkat, salah satunya penamaan karakter. Contohnya adalah karakter yang bernama Pussy Galore dalam Goldfinger (1964) yang diperankan oleh Honor Blackman. Seperti yang kita tahu, bahwa kata “pussy” adalah merujuk kepada bagian tubuh perempuan yang sangat privat. Bagian tubuh ini juga merupakan organ seksual yang sangat penting. Nama lainnya adalah Octopussy (1983) yang sekaligus menjadi judul film.
Tampak bahwa film James Bond menggunakan perempuan sebagai komoditas untuk menarik minat penonton. Saat mendengar kata James Bond, dua hal utama yang terlintas dipikiran penonton adalah senjata yang canggih dan perempuan seksi. Bahkan banyak sekali artikel di media yang mengulas pendapat mengenai urutan gadis Bond yang paling seksi. Aktris yang menjadi Bond Girl berasal dari berbagai macam negara dengan berbagai macam ras. Tidak hanya perempuan berambut pirang dan bermata biru, gadis Asia seperti Michelle Yeoh (Tomorrow Never Dies) dan perempuan dengan ras Negroid seperti Naomie Harris (Skyfall) juga menjadi karakter Bond Girl. Hal ini menjadi menarik dimana film waralaba terlaris di dunia yang memiliki masa kejayaan selama 50 tahun mengutamakan perempuan sebagai salah satu sm film marketing. Film James Bond pun menjadi salah satu produk budaya popular yang mampu menyihir masyarakat dengan unsur seksualitasnya.
Tubuh perempuan memang memiliki daya tarik tersendiri. Sejak dulu, konstruksi sosial mengatasnamakan tubuh perempuan sebagai simbol kecantikan. Perempuan juga dilihat sebagai simbol seks pada seluruh bagian tubuhnya. Dunia perfilman sebagai media massa yang besar dan dinikmati oleh masyarakat seluruh dunia, menjadikan perempuan sebagai objek untuk dijual dan menjadi bumbu yang menarik minat penonton. Keindahan tubuh perempuan dijadikan komoditas, yang khususnya di dalam film waralaba James Bond ini mampu memberikan pengaruh yang besar. Di era kapitalisme dimana perusahaan industri khususnya perfilman saling bersaing satu dengan lainnya, apapun bisa dijadikan komoditas salah satunya adalah tubuh perempuan. Mosco menjelaskan bahwa komodifikasi pekerja dapat melalui dua jalan, yaitu mengatur fleksibilitas dan kontrol atas pekerja dan “menjual” pekerja tersebut untuk meningkatkan nilai tukar dari isi pesan media (Mosco, 2009).
Kehadiran film Dr. No pada tahun 1962 merupakan film aksi spionase yang begitu dikagumi dan diminati. Film ini sukses menembus box office dan menghasilkan keuntungan lebih dari lima puluh kali lipat dari modal yang digunakan. Film Dr. No merupakan film aksi dengan dana yang minim sekali yaitu hanya 1,1 juta dolar. Meskipun begitu, Dr. No berhasil meraup keuntungan berpuluh-puluh kali lipat yaitu 59,5 juta dolar. Kehadiran Ursula Andress sebagai tokoh utama perempuan bernama Honey Ryder (dalam film ini dan film-film James Bond lainnya terdapat beberapa tokoh perempuan) ditampilkan sebagai perempuan yang tinggal di daerah pantai dan mengenakan bikini. Poster dan cover film Dr. No menampilkan gambar Bond dan Honey yang mengenakan bikini. Keindahan tubuh tokoh perempuan disini diperlihatkan secara vulgar sepanjang penampilannya. Keseksian tubuhnya dapat dinikmati sepanjang penampilannya dan tidak dapat dipungkiri kehadiran Ursula Andress pada debut film James Bond ini memiliki peran yang menarik minat penonton. Dengan total biaya yang minim, tentunya Ursula Andress pun dibayar dengan bujet yang rendah pula.
Industri perfilman sendiri tidak saja berfokus pada ranah seni, tetapi juga mengarah pada politik ekonomi. Seiring dengan ketatnya persaingan di industri perfilman, maka politik ekonomi berlanjut kearah “politik ekonomi libido”. Konseskuensi paling menonjol yang menyertai perkembangan politik libido ini adalah hadirnya sistem ekonomi yang dikuasai oleh semacam ideologi ‘libidonomics’, dengan orientasi utama berupa pendistribusian rangsangan, rayuan, godaan, kesenangan, kegairahan, hasrat atau hawa nafsu tanpa batas dalam suatu arena pertukaran ekonomi di masyarakat (Kasiyan, 2008:2).
Tubuh perempuan sebagai komoditas dalam film ini dapat dihubungkan dengan hubungan ekonomi kapitalis antara buruh yang dalam hal ini adalah aktris dan pemilik modal, yaitu produser. Menurut Karl Marx, komoditas merupakan keberadaan sesuatu yang memiliki nilai tukar, berarti bahwa mereka dijual di pasar. Dalam hal ini perempuan dan tubuhnya menjadi daya jual film James Bond di pasar industri perfilman. Pornografi juga dianggap sebagai salah bentuk bentuk kekerasan terhadap perempuan di media massa karena media dengan sengaja menggunakan objek perempuan untuk keuntungan bisnis mereka (Burhan Bungin, 2003).
Menurut konsep feminisme Marxis, isu dan inti pemikirannya adalah keyakinan bahwa pemilik modal adalah yang berkuasa, penekanan di bawah sistem kelas atau kapitalisme dikuasai oleh laki-laki sebagai pemegang kapital. Dalam film waralaba James Bond, contohnya Dr.No, pemegang kapital adalah produser yang notabene adalah laki-laki. Produser memiliki “power” untuk menentukan peran perempuan dalam film tersebut atas dasar produserlah yang “berkuasa”. Perempuan dalam film ini hanyalah pekerja yang ada di bawah sistem kapitalisme yang dikuasai oleh laki-laki. Di sisi lain, secara sosial perempuan sedang berada di bawah tekanan budaya patriarki dan kapitalisme yang bekerja sama untuk membentuk konstruksi sosial tentang tubuh perempuan itu sendiri.
Aktris dalam film James Bond dituntut dan diarahkan untuk berpakaian dan berakting seksi. Ini adalah kehendak produser untuk menciptakan nilai jual bagi film-film James Bond agar berdaya saing dan menggapai kesuksesan. Kesuksesan berarti menghasilkan keuntungan yang besar. Andress yang notabene aktris pendatang baru seolah tidak memiliki daya untuk melawan kekuasaan produser sebagai pemilik modal untuk menjadi lakon seksi yang mengharuskannya memamerkan keindahan tubuhnya. Posisi Andress sebagai aktris pendatang baru yang belum populer dimanfaatkan oleh pihak produser untuk meminimalisir pengeluaran anggaran biaya untuk para pemain. Namun, sebagai pemilik modal yang berkuasa, produser menekan Andress untuk tampil dan berakting seksi sepanjang penampilannya dalam film.
Strategi Ekonomi Politik dalam film James Bond
Berkaitan dengan komodifikasi perempuan dan tubuhnya, ada hal yang menarik dalam film-film James Bond. Ketika film-film lain berlomba untuk menyajikan keindahan tubuh perempuan yang sebagian besarnya tereksploitasi dalam adegan seksual, film James Bond tidak pernah menampilkan tubuh perempuan dengan terbuka secara total ataupun terlalu vulgar. Unsur seksualitas dan daya tarik seksual dalam film ini dihadirkan secara smooth sehingga lebih ditampilkan secara tersirat dan tidak terus-menerus. Hal ini merupakan strategi untuk menarik minat penonton. Ketika penonton mendapatkan tayangan adegan seksual dan tubuh perempuan seksi secara terus-menerus, akan timbul kejenuhan akan seks dimana ideologi ‘libidonomics’ yang ditanamkan tidak lagi berfungsi dengan baik.
Tingkat nudity (ketelanjangan) dalam film-film James Bond terbilang rendah dibandingkan dengan film-film lain khususnya film Barat. Dapat dibandingkan bagaimana penampilan aktris Eva Green dalam Casino Royale (2006) sebagai Vesper Lynd, kekasih Bond, dengan perannya sebagai Isabelle dalam The Dreamers (2003) dimana Green memulai debut aktingnya. Meskipun Green dikenal memiliki totalitas akting dengan penampilan nude yang secara jelas memperlihatkan keindahan tubuh Green dalam film perdananya, produsen Casino Royale tidak menampilkan tubuh seksinya secara utuh untuk dijadikan daya jual film ini. Alih-alih mengumbar bagian tubuh yang vital, Green ditampilkan secara elegan untuk memunculkan sex appeal-nya. Dengan menggunakan gaun malam bermodel backless, Vesper berhasil menarik perhatian para pengunjung casino dengan jalannya yang anggun dan tidak lupa perhiasan kalungnya yang menghiasi bagian dada dan tentu saja memperlihatkan bagian dadanya. Kalung ini pun merupakan brand (sponsor) yang menunjang kebutuhan produksi.
Tidak ketinggalan penampilan Caterina Murino sebagai Solange Dimitros dalam adegan mesra antara Bond dan Solange (dalam Casino Royale, 2006) yang juga menarik perhatian. Solange yang merupakan istri dari musuh Bond adalah perempuan keturunan Spanyol yang seksi. Namun, tidak seperti yang film-film lain hadirkan saat melibatkan perempuan Spanish yang dilekatkan dengan stereotype seksi nan menggoda, dalam adegan ini Solange tetap mengenakan pakaian utuh. Meskipun mengenakan gaun malam yang seksi, namun tidak ada adegan mesra yang vulgar disini. Sebagai gantinya, dapat dilihat gerakan-gerakan tubuh Solange khususnya bagian pinggul bergerak dengan lembut namun erotis. Dan adegan inipun tidak berakhir dengan adengan ranjang seperti yang biasanya dihadirkan dalam film-film Barat. Hanya ada sajian lekuk tubuh, ekspresi wajah dan jalan Solange yang membelakangi kamera.
Dalam seri terbaru, Spectre (2015) penampilan tokoh utama perempuan Madelina Swann (Lea Seydoux) menunjukkan adanya perubahan. Ia tidak menggunakan kostum yang seminim kostum para penduhulunya. Justru tampak berkelas dan menegaskan kualitas inner beauty-nya yang menunjukkan bahwa ia perempuan tegas, mandiri, cerdas dan fokus berkarir. Meskipun begitu, keindahan tubuhnya tetap ditonjolkan tetapi dengan cara yang lebih smooth.
Strategi penyajian seksualitas seperti ini yang diunggulkan dalam film James Bond untuk memenangkan ketertarikan penonton. Penyajian unsur seksualitas yang secara smooth ini mengaburkan komodifikasi yang dilakukan dalam produksi film James Bond. Dengan penyajian pornografi dan nudity yang terbilang rendah, maka kesan dan nilai pornografi dalam film ini akan dimaklumi sebagai sesuatu yang dibilang wajar tanpa mempedulikan komodifikasi perempuan dan tubuh perempuan yang terdapat disini. Selain itu, tingkat nudity yang rendah membantu memberikan kesan bahwa film-film Bond adalah film berkelas yang tidak hanya mengumbar unsur seks seperti film-film kelas B. Bagaimanapun, Bond Girl tetaplah menjadi nilai jual yang mendukung faktor kesuksesan terbilang sebagai film waralaba terbesar di dunia ini.
Referensi:
Bungin, Burhan. 2003. Pornomedia: Konstriksi Sosial Teknologi Telematika dan Perayaan Seks di Media Massa. Jakarta: Kencana.
Fromm, Erich. 2007. Cinta, Seksualitas, dan Matriarki. Yogyakarta: Jalasutra.
Kasiyan. 2008. Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan. Yogyakarta: Ombak.
Mosco, Vincent. 2009. The Political Economy of Communication. London: SAGE Publications Ltd. Jurnal