a minecraft movie

Satu lagi film adaptasi gim dirilis yang semakin menegaskan tren subgenre ini. A Minecraft Movie merupakan film komedi fantasi petualangan yang digarap Jared Hess, diadaptasi gim bertitel sama kreasi Mojang Studio. Gim Minecraft yang lahir pada tahun 2011, merupakan gim terlaris di dunia saat ini yang terjual mencapai lebih dari 300 juta kopi. Film ini dibintangi sederetan bintang besar, yakni Jack Black, Jason Momoa, Emma Myers, Danielle Brooks, Sebastian Hansen, serta Jennifer Coolidge. Bermodal popularitas gim dan para bintangnya, rasanya tak sulit untuk mencapai sukses komersial, lantas bagaimana dengan kualitasnya?

Steve (Black) adalah seorang pria yang terobsesi dengan tambang sejak ia kecil. Suatu ketika, ia menemukan sebuah kubus ajaib yang membuka portal menuju dimensi lain yang bernama Overworld. Di dunia ini, Steve mampu menciptakan apa pun yang ia inginkan. Ternyata, ada dunia lain yang berlawanan dengan Overworld, yakni Nether, yang dikuasai seorang penyihir jahat bernama Malgosha. Steve pun terjebak di sana dan menyembunyikan kubus di dunia nyata agar portal tertutup. Bertahun-tahun kemudian, kubus pun terekspos, dan secara tak sengaja, Garret (Momoa), Natalie (Myers), Henry (Hansen) dan Dawn (Brooks), tersedot ke dunia Overlord.

Kisahnya sederhana, efektif, dan tepat sasaran. Tentu saja tidak semua penonton akrab dengan gimnya, namun plotnya mampu menyeimbangkannya melalui eksposisi yang ringkas. Plot senada jelas bukan hal baru, sebut saja The Super Mario Bros Movie (2023) yang sukses luar biasa, hingga Tron: Legacy (2010) yang kisahnya lebih suram dan gelap. Seperti halnya Mario, Minecraft tidak butuh berpikir keras untuk menikmati kisahnya, dan bisa jadi akan membosankan bagi penonton dewasa. Gelak tawa para penonton anak-anak di dalam ruang pemutaran, sudah cukup menjadi penanda bahwa mereka sangat menikmati filmnya.

Baca Juga  Fear Street Part One: 1994

Ketimbang plotnya yang predictable, polah aksi konyol Jack Black dan Jason Momoa lebih mencuri perhatian bagi penikmat macam saya. Black tak ubahnya bermain layaknya Po dalam seri Kung Fu Panda, namun versi live action dengan dialog-dialog “lebay”-nya. Sementara Momoa mengingatkan perannya sebagai sosok komikal, Flip dalam Slumberland.  Aksi, polah, dan ekspresinya, mustahil dilakukan Dwayne Johnson dalam film-film fantasi sejenis ini, sebut saja seri Jumanji. Chemistry humor antara Black dan Momoa terasa lebih dinamis dan saling melengkapi. Dua aktor ini juga terlihat paling enjoy dalam memainkan perannya. Sementara bintang seri Wednesday, Emma Myers justru tampil formal dan kurang ekspresif, berbeda dengan peran enerjiknya sebagai Enid. Aktris kawakan Jennifer Cooligde justru mencuri perhatian sebagai sang kepala sekolah.

A Minecraft Movie adalah film adaptasi gim yang amat menghibur melalui visual dan sisi komedinya, sempurna untuk tontonan keluarga. Efek visual yang menjadi sajian utama, bisa jadi bukan yang terbaik, namun lebih dari cukup untuk melengkapi kisahnya. Di atas segalanya, family value adalah satu kekuatan terbesar film ini yang menjadikannya pas untuk tontonan keluarga. Namun, ada satu selera humor yang menurut saya agak berlebihan ketika Malgosha secara sengaja menghunuskan belatinya ke tubuh satu anak buahnya, hanya karena dia menggambar sketsa rumah berwarna-warni. Apa dosanya? Ditendang atau dipukul, rasanya cukup. Saya agak terganggu dengan ini karena banyaknya penonton anak-anak di bioskop. Entahlah, mungkin hal semacam ini sudah biasa bagi anak-anak masa kini.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaKKN di Pabrik Gula
Artikel BerikutnyaThe Amateur | REVIEW
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses