A Quiet Place: Day One merupakan film spin-off prekuel arahan Michael Sarnoski. Sineas dua seri sebelumnya, John Krasinski, kini memilih duduk di bangku produser bersama sineas kondang, Michael Bay. Film ini dibintangi Lupita Nyong’O, Joseph Quinn, Djimon Hounsou, dan Alex Wolff. Dengan bujet terbesar di antara dua seri sebelumnya, USD 67 juta, mampukah film ini memberikan sesuatu yang baru dan berkesan bagi serinya?
Samira (Nyong’O) adalah seorang perempuan penderita kanker yang tinggal di sebuah bangsal perawatan khusus bersama belasan pasien lainnya. Suatu hari, Sam bersama pasien lainnya, berwisata dengan menonton pertunjukan teater di Kota New York. Siapa sangka, kondisi berubah drastis ketika ratusan bola api menghujam Kota New York. Bola api tersebut ternyata membawa ratusan monster yang membantai ribuan warga dan melumpuhkan kota dalam seketika. Tidak butuh waktu lama, warga dan pihak militer untuk bisa mengetahui jika para monster mengejar mangsanya karena faktor suara. Keheningan menjalar satu penjuru kota yang telah luluh lantak. Sam bersama kucing kesayangannya, Frodo, hanya mencoba bertahan hidup di tengah situasi yang luar biasa dan penyakit yang dideritanya.
Melalui seri sebelumnya, kita telah tahu persis bagaimana sang monster bekerja, kekuatan sekaligus kelemahan, sehingga hal terkait eksposisi sang monster tidak lagi dibutuhkan di sini. Plotnya juga tidak menjelaskan asal-usul sang monster karena perspektif cerita semata terfokus pada sosok Sam dan kucingnya. Inti kisahnya hanya bertahan hidup, sesederhana itu, dan aksinya secara ringkas hanya bergerak dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Sam berpapasan dengan sosok Eric, yang menambah sedikit variasi cerita. Akan tetapi, tetap saja tak banyak emosi ataupun simpati yang bisa kita rasakan, selain rasa penasaran, bagaimana semua ini berakhir bagi mereka berdua. Bagi penikmat film sejati, rasanya tak sulit untuk menerkanya.
Selain latar kota New York, tak banyak lagi hal baru dibandingkan dua seri sebelumnya. Aksi-aksinya pun tak jauh berbeda karakter selain tawaran variasi setting yang lebih kaya. Efek visual (CGI) juga tak ada yang istimewa. Bahkan dalam banyak momen, kesunyian dan minim dialog, justru memicu kelelahan. Nyong’O juga tampil baik walau tanpa ada sesuatu yang membekas, demikian pula Quinn (aktor ini begitu mirip dengan Robert Downey Jr. di masa mudanya). Durasi singkat dan alur cerita yang terus bergerak menjadi sebab, sisi drama tidak terlalu dominan. Hanya satu hal yang mencuri perhatian, yakni penampilan sang kucing yang memikat dan tampil cukup dominan. Kita semua tahu, mustahil untuk mengarahkan seekor kucing tapi ia bisa tampil sesuai tuntutan cerita dengan chemistry terjalin kuat dengan Sam.
A Quiet Place: Day One masih menggunakan formula aksi “di keheningan” yang sama tanpa banyak sesuatu yang baru, kecuali latar kota besar dan penampilan memikat si kucing. Satu hal lagi yang membedakan tentu adalah sempalan cerita yang lazimnya menjadi subteks. Naskahnya telah melakukan ini menggunakan sosok Sam dengan penyakit mematikan dalam tubuhnya. Ini jelas terlihat bakal menjadi poin subtil dalam kisahnya, namun ini pun tak bisa kita rasakan penuh emosi. “Pizza” yang menjadi tujuan akhir Sam, rasanya bisa berperan lebih kuat lagi untuk mendukung subteksnya, sayangnya ini tidak dilakukan. Day One hanyalah film prekuel yang bertindak sebagai formalitas belaka tanpa ada sesuatu yang membekas.