Watch our video review in english below.
Apa jadinya jika manusia tidak boleh mengeluarkan bunyi walau hanya sekecil apa pun karena nyawa bakal jadi taruhannya? Premis ini menjadi konsep dasar film horor (dan fiksi ilmiah?) A Quiet Place garapan John Krasinski yang sekaligus juga bermain sebagai tokoh utama. Kransinski sebelumnya lebih kita kenal sebagai seorang aktor ketimbang sutradara, dan uniknya pula, istrinya, yakni Emily Blunt juga bermain sebagai tokoh utama bersamanya sebagai sepasang suami istri. Boleh jadi, karir sutradaranya setelah ini bakal mengkilap karena kemampuannya mengemas film ini begitu unik dan segar.
Dikisahkan umat bumi berada diambang kepunahan karena monster-monster yang entah darimana datangnya membantai dan menghabisi umat manusia. Uniknya, monster ini super sensitif pada suara sehingga ia akan memburu apapun yang mengeluarkan suara. Lee dan istrinya, Evelyn yang tengah hamil tua, beserta putra dan putrinya adalah sedikit dari keluarga yang selamat dan tersisa di satu kota kecil di wilayah pedesaan. Kisah hanya terfokus pada bagaimana keseharian mereka hidup dalam kesunyian, serta bertahan hidup dari para monster “pemburu suara” yang sewaktu-waktu dapat mengancam.
Sejak sekuen pembuka, premis filmnya telah digambarkan dan dijelaskan dengan sangat baik. Walau dalam perkembangan, kita hanya mendapat sekilas info tentang bencana global ini, dan tak jelas bagaimana, dari mana, kapan, dan mengapa, monster-monster ini bisa ada di bumi dan membantai manusia. Masalah dan konflik filmnya memang bukan di sini, namun kita hanya mendapat penggalan plot kecil dari kisah besarnya, yakni bagaimana Lee dan keluarganya bertahan hidup. Hanya ini. Sepanjang film, layaknya menonton film bisu berjalan nyaris tanpa dialog (kalau ada pun hanya saling berbisik) serta hanya berisi suara efek dan ilustrasi musik. Pengalaman menontonnya, mirip seperti The Artist, dengan berjalannya waktu memang terasa agak melelahkan karena kita tidak terbiasa menonton di bioskop dengan film tanpa banyak dialog seperti ini. Film baru terasa menggigit sejak paruh kedua karena aksi yang cukup menegangkan mulai dominan. Unik memang, namun terasa masih ada sesuatu yang janggal.
Ide serta premis cerita serta kemasan estetiknya yang sunyi memang menjadikan film ini begitu unik. Namun, beberapa hal khususnya dari sisi cerita, sedikit banyak menimbulkan pertanyaan. Okelah, kita abaikan saja latar belakang monster pemburu suara tersebut, namun sejak awal beberapa hal memang amat mengganjal. Satu hal kecil misalnya, jika memang kota kecil ini sudah mati dan tak berpenghuni, dari mana mereka bisa mendapatkan listrik? Genset yang bersuara demikian gaduh dan membutuh bahan bakar jelas bukan solusi. Listrik atau lebih tepatnya penggunaan lampu adalah salah satu kunci pendukung filmnya, setidaknya ini bisa dijelaskan secara logis. Hal-hal kecil macam ini banyak terdapat dalam kisahnya, termasuk solusi di-ending (jelas satu hal yang amat mustahil tidak terpikirkan manusia seisi bumi), ini yang membuat entah mengapa terasa ada jarak antara saya dan kisah filmnya.
Dengan ide segar serta premis menarik, A Quiet Place menggunakan kesunyian sebagai kekuatan sinematiknya, namun faktor ini pula yang menjadi sisi lemah naratifnya. Tak dipungkiri, sang sineas mampu mengemas filmnya dan membangun suasana senyap dengan sangat baik dan konsisten sepanjang filmnya. Uniknya, Regan, sang putri yang dikisahkan tuna rungu, benar-benar diperankan oleh aktris tuli Millicent Simmonds yang memang bermain sangat baik dalam filmnya. A Quiet Place bisa jadi menyimpan satu pesan sederhana terhadap umat manusia yang jumlahnya kini sudah terlalu padat dengan segala polahnya yang rakus dan serakah menjadikan beban bumi menjadi lebih berat. Keluarga memang menjadi pondasi sekaligus benteng terakhir yang mampu mengangkat manusia untuk tidak berada dalam satu level dengan monster dalam film ini.
Silahkan baca pula artikel lepasnya:
A Quite Place: Indahnya Kesunyian dan Nalar yang Terabaikan
WATCH OUR REVIEW