*Mengandung spoiler dan disarankan untuk membaca ulasan film ini sebelumnya.
Tak ada keraguan, A Quite Place adalah sebuah film horor unik melalui pendekatan estetiknya. Tak tanggung-tanggung, semua kritikus besar menyanjung tinggi hingga situs film populer Rotten Tomatoes selama beberapa waktu sempat memberikan poin 100%, yang artinya semua kritikus memberi respon positif. Apa sebenarnya keistimewaan film ini? Jawabnya ada pada judul filmnya sendiri, sebuah tempat yang sunyi. Kesunyian yang disajikan layaknya film bisu menjadikan aspek suara mengambil peran penuh sepanjang kisahnya. Sebuah ide dan konsep segar yang belum pernah ada sebelumnya, khususnya untuk genrenya. Untuk terhindar dari malapetaka monster pemburu suara, Keluarga Abbott berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat dan secara kebetulan pula putri mereka, Regan adalah tuna rungu. Mereka berupaya semaksimal mungkin untuk tidak mengeluarkan suara sekecil apa pun karena bahaya setiap saat mengancam. Tidak seperti film fiksi ilmiah Signs, garapan M. Night Shyamalan, atau 10 Cloverfield Lane yang malapetaka terjadi sejak awal kedatangan alien, A Quite Place mengambil latar waktu lebih dari setahun sejak monster pemburu suara datang ke lokasi rumah keluarga Abbott.
Pilihan penggalan cerita ini tentu berdampak pada latar belakang masalah. Penonton tak tahu pasti apa yang tengah terjadi, bagaimana monster muncul, serta bagaimana keluarga Abbott bisa selamat dari serangan pertama hingga mereka dalam situasi seperti sekarang. Satu hal yang pasti, kota dekat tempat tinggal mereka telah lumpuh dan tak ada tanda kehidupan di sana. Tak ada bekas perlawanan pihak militer atau lainnya, seolah musuh datang dan langsung menyapu habis secara mendadak satu penduduk kota tanpa ampun. Keluarga Abbott setelah sekian lama hidup sendiri dan bertahan di rumah mereka. Selama itu pun mereka telah mengetahui karakter pemburunya yang hanya bisa mendengar suara dari jarak yang amat jauh tetapi tidak bisa melihat. Mereka mengantisipasi dengan banyak hal, seperti menghindari dialog menggunakan suara, tidak menggunakan alas kaki, mengalasi jalan setapak dengan pasir, memberi penerangan lampu pada jalan setapak, kamera CCTV untuk mengawasi sekitar rumah mereka, dan lain sebagainya.
Gelagat keunikan filmnya sudah tampak sejak pembuka filmnya. Semua tokohnya sudah dikenalkan di sini. Bahkan, Regan sudah mendapat perlakuan estetik istimewa melalui penggunaan teknik internal diegetic sound (suara subyektif) tanpa ambience. Penonton yang jeli pasti bisa melihat perbedaan ini, jika Regan ternyata tuli. Suasana sunyi senyap sudah bisa kita rasakan sejak momen ini. Satu hal yang tak biasa kita dapatkan untuk film tontonan bioskop. Ini kelak yang kita dapatkan sepanjang filmnya. Hanya permainan efek suara dan ilustrasi musik yang banyak bicara. Sang sineas melakukan semua ini dengan sangat elegan. Suara sekecil apa pun mendadak bisa terasa begitu keras dan mengagetkan dalam beberapa momen. Bahkan kita pun yang menonton jika ingin bersuara atau bergerak pun juga ikut berhati-hati, hingga suara gemuruh pertarungan robot raksasa di teater sebelah terdengar dengan jelas karena begitu sunyinya. Namun, di luar pencapaian estetiknya ini, satu hal yang menganggu dari semua aspeknya adalah plotnya sendiri yang tanpa memberi kejelasan tentang banyak hal yang sesungguhnya penting, yakni logika cerita.
Dari pembuka filmnya, hal ini sudah tampak dari kematian sang putra bungsu yang amat mengganjal (terlebih jika kita telah menonton filmnya, hal ini jelas sekali tak masuk akal). Dari yang terlihat tampak keluarga Abbott sudah beradaptasi dengan situasi dan tekanan yang begitu hebat. Dari alas pasir di jalanan yang mereka buat sudah menggambarkan hal ini. Si bungsu tentu sudah mengetahui situasi genting ini sejak awal. Bagaimana mungkin ini semua bisa terjadi? Anehnya pula, sang ayah membiarkan sang putra berjalan paling belakang dalam situasi hidup-mati seperti itu. Okelah, anggap saja ini kecerobohan kecil mereka yang berakibat fatal. Sejak momen ini, banyak dari elemen kisah filmnya yang sangat menentang logika, atau sering diistilahkan lubang plot (plot hole).
Bicara Soal Listrik
Sejak saat pertama kali tahu jika lampu bisa menyala, saya langsung bertanya dalam hati, dari mana asal sumber listriknya? Berjalannya cerita berharap ada penjelasan soal ini, dan ternyata hingga akhir pun tak ada penjelasan sama sekali. Apa ini penting? Ya jelas amat penting karena listrik mengambil peran besar dalam plot filmnya. Kita tahu persis jika kota telah mati berarti sumber listrik pun pasti mati. Jika listrik tidak mati sekali pun, tak ada penjelasan soal ini. Generator listrik atau genset? Sudah tentu bukan opsi karena alasan yang sudah saya jelaskan dalam ulasan film sebelumnya. Aki mobil? Ini lebih masuk akal, namun lagi-lagi tak ada penjelasan tentang ini, dan untuk menghidupi sekian banyak lampu, berapa banyak aki yang dibutuhkan? Untuk mengisi aki pun tetap harus menyalakan kendaraan yang tentu tak mungkin mereka lakukan. Lalu solar panel? Berapa besar dan banyak panel surya yang dibutuhkan untuk menghidupi lampu sebanyak itu? Tentu luasannya tidak kecil dan petunjuk ke arah ini pun nihil. Hal ini teramat sepele tapi penting. Penjelasan sedikit saja sebenarnya cukup. Misalkan dalam seri film Star Trek, kita tentu tak perlu bertanya bagaimana mereka bisa menghidupi pesawat Enterprise yang sedemikian besar dengan bahan bakar yang tak ada habisnya. Teknologi pada masanya memang memungkinkan untuk itu. Hanya masalah listrik ini saja, membuat kisah filmnya terasa janggal dan sanggup membuat jarak. Mungkin ini hanya problem saya saja. Penonton lain mungkin tak ada masalah dengan semua ini.
Monster Pemburu Suara
Kita tak tahu dari mana monster ini berasal. Kemungkinan besar adalah makhluk asing atau alien karena jika sudah ada sejak lama di bumi, umat manusia pasti telah punah. Motif pun tak jelas, untuk apa ia membinasakan semua makhluk hidup (manusia dan binatang) dan semua benda yang bersuara. Ia juga tak memakan mangsanya, instingnya hanya membunuh. Saya bertanya pula, lantas ia makan apa untuk memberi energi tubuhnya? Tak jelas dan rasanya ini juga tak penting. Hal yang kita tahu pasti, ia bisa mendengar suara yang relatif kecil dari jarak yang teramat jauh dan tak memiliki indera untuk melihat. Bayangkan, hewan kecil yang tengah berjalan di ladang pun, bisa ia bunuh seketika tapi ketika Megan dan sang ayah berlari ia tak mampu mendengarnya. Satu lagi, tanpa melihat ia sanggup berjalan di dalam rumah dari satu ruangan ke ruangan lain. Bahkan menuruni tangga kayu yang terhitung berukuran kecil pun ia mampu, tanpa terpeleset atau tertusuk paku yang menusuk kaki sang ibu. Apa ia memiliki semacam sonar seperti ikan paus, jika iya pun tentu ia bisa melihat manusia di sekitarnya.
Bicara Soal Air
Air adalah salah satu kebutuhan utama manusia. Pertanyaan besar pertama jelas adalah dari mana airnya berasal. Pompa air listrik? Tentu ini bukan jawabnya karena mengeluarkan suara lumayan keras. Jika menggunakan pompa tangan pun tetap akan menimbulkan bunyi dan suara air di bak tentu akan menimbulkan suara. Atau mungkin saja PDAM masih berfungsi? Atau bisa pula mereka membawanya dengan jirigen dan berjalan dari sungai ke rumah? Duh kenapa harus dipikir. Dalam satu adegan di ruang basement, air yang mengalir demikian kencang, entah ini bocor, keran terbuka, atau bagaimana juga tak jelas, namun sang ayah tak menggubrisnya, dan herannya ia tak takut jika air tersebut bakal membanjiri ruangan bawah tanah yang di sana ada istrinya dan sang bayi. Hal yang disebutkan benar-benar terjadi, ruangan pun banjir, dan entah bagaimana, sang monster pun sudah ada di sana dan rupanya soundproof berupa springbed sudah tak lagi mempan. Selama ini, sang bayi pun tetap kalem dan sang ibu bisa membawanya ke ruang atas. Masih bicara air. Sang ayah mengajak putranya ke sungai untuk mengambil ikan dan air terjun di mana mereka bisa berteriak keras. Kisahnya sudah setahun lebih sejak monster muncul dan sang ayah baru mengajak sang putra ke sana? Saya juga bertanya lagi, bagaimana mereka mandi tanpa membuat suara atau mungkin mereka tidak mandi sama sekali?
Klimaks Film
Beberapa hal pada klimaks cerita memang agak sedikit menganggu. Ketika sang ayah tahu, putra-putrinya dalam bahaya ketika terjebak dalam mobil, ia mengorbankan dirinya agar kedua anaknya dapat lolos. Ini mengejutkan sekali. Saya pikir sang ayah bakal melakukan apa yang Ian Malcolm (Jeff Goldblum) lakukan dalam Jurassic Park. “Hey.. over here!” dan ia melempar tongkat api jauh ke arah lain sekalipun akhirnya ia terlempar oleh T-Rex. Hal yang agak aneh adalah bagaimana sang ayah tahu persis jika sang monster yang akan memburu dirinya, tidak akan berbalik mengajar kedua anaknya kembali? Jarak Lee dan mobil sepertinya tidak terlalu jauh. Mengapa sang ayah tidak berteriak untuk memancing sang monster lalu berlari menghindar dan diam? Ia pun tak perlu mati dan mengirim isyarat terakhir pada sang putri tercinta.
Penonton film sejati tentu sudah tahu jika alat bantu dengar yang diberikan sang putri oleh sang ayah kelak akan memegang peran penting dalam kisahnya (lagi-lagi dibuat dengan listrik). Ternyata benar. Alat tersebut ternyata mampu mengacaukan indera pendengaran sang monster hingga membuatnya tak berkutik. Kemungkinan besar sang monster tak tahan dengan suara berfrekuensi tinggi yang dikeluarkan alat tersebut. Setelah setahun lebih sejak monster-monster ini menguasai bumi, tak adakah lebih dari 1 milyar manusia bumi yang memikirkan hal sesederhana ini? Hal ini mungkin saja terjadi dan toh kita tidak tahu apa yang terjadi di dunia luar sana tetapi tetap saja rasanya janggal. Saya mendadak teringat film komedi fiksi-ilmiah garapan Tim Burton, Mars Attack, yang memiliki solusi yang nyaris mirip dengan film ini untuk membinasakan semua alien yang menginvasi bumi sekalipun logika kisahnya bisa diterima karena genrenya.
Beberapa poin di atas memang patut diperdebatkan. Bisa saja ada sesuatu yang saya lewatkan dan mungkin ini juga bukan masalah bagi kebanyakan penonton dan kritikus film. Tapi bagi saya, Logika cerita tetap adalah aspek naratif yang teramat penting. Seberapa pun hebatnya sebuah film tanpa logika cerita yang benar sesuai konteks (cerita)-nya, tetap akan menjadi cacat filmnya. Kelemahan kecil jelas amat wajar dalam sebuah film, namun dalam kasus film ini, saya tidak akan memaafkannya begitu saja. Tidak adakah dari pembaca merasakan hal yang sama?
Terima kasih ulasannya bung Himawan..
Saya juga sudah nonton film A Quiet Place, yang walaupun muncul pertanyaan di sana sini saat menonton, tapi overall saya sangat puas dan selalu terpaku akibat tensi tinggi yang disajikan tanpa henti, terutama dari tengah (paku sialan…) hingga akhir film.
Dan untuk pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benak saya, entah kenapa saya masih bisa mengabaikannya — mungkin karena menurut saya masih dalam kadar anything is possible, atau mungkin juga karena jika terlalu memikirkan takut malah adegan-adegan dan detil-detil selanjutnya terlewatkan. Malah yang menurut saya agak tidak mungkin adalah bagaimana mereka bisa hidup tanpa mengeluarkan suara, sengaja atau tidak, selama setahun lebih (they’re the luckiest family in this dystopian world..)
Oya, mengenai beberapa kritik bung Himawan saya ada sedikit komentar nih
1. Listrik.
Disini saya juga bertanya-tanya, darimana mereka mendapatkan sumber listrik untuk menghidupkan lampu, sampai perangkat monitor yang banyak itu. Sayang sekali tidak ada dijelaskan sama sekali. Padahal menurut saya, penulis naskah yang sejatinya paling memahami film yang dibuatnya tidak mungkin lalai atas logika ini. Memang faktor listrik ini lumayan mengganjal (mungkin akan dijelaskan di sekuel atau prekuelnya hehehe)
2. Monster.
Dari yang saya perhatikan, saya akhirnya menganggap monster ini seperti kelelawar, yang bisa bergerak kemana saja tanpa penglihatan baik tempat baru maupun yang sudah biasa dilewati, dan bisa membedakan mana suara asing/unik/baru atau suara yang sudah biasa mereka dengar, seperti air mengalir, gemerisik pepohonan. Saya juga menganggap mereka memakan manusia, dengan menerkam dahulu lalu membawa ke tempat aman untuk makan (kayak kucing aja hehe..) Dan ketika mereka sudah dekat mangsa, mereka akan menajamkan pendengaran, mungkin untuk membedakan ada mangsa atau tidak. Untuk asal-usul monster saya tidak terlalu memikirkan, mereka bisa datang dari mana saja, dengan cara apapun, dan menurut saya tidak begitu relevan dengan apa pesan yang ingin disampaikan film ini.
3. Air.
Dari saya lihat, di adegan saat air bocor turun ke ruang basement, si ayah tidak menyadarinya, mungkin karena terlalu fokus mencari anak-anaknya sehingga tidak terlalu memperhatikan sekitar ruangan rumahnya.
4. Klimaks.
Dari sudut pandang si ayah, dia melihat anak-anaknya di dalam mobil tinggal menunggu ajal diterkam sang monster, sehingga dia melakukan sesuatu yang terlintas dipikirannya di momen sepersekian detik itu, yaitu dengan berteriak, walaupun mungkin hanya dapat mengalihkan si monster sebentar, tetapi dia mengambil kesempatan itu apapun demi anaknya. Berteriak ditempat ataupun dengan berlari, menurut saya sama saja, monster ini sangat cepat.
Untuk solusi mengalahkan monster ini ternyata cukup sederhana, apalagi dari koran yang beredar manusia sudah lama mengetahui bahwa monster ini berburu lewat suara. Tapi mungkin saja orang-orang di tempat lain, ilmuwan, pihak militer, sudah mengetahui solusinya, namun karena keterbatasan komunikasi (seperti terlihat saat si ayah selalu gagal untuk berkomunikasi radio) sehingga cara tersebut tidak sampai ke orang-orang yang bertahan hidup di lokasi terpencil.
Oke itu saja komentar saya (maaf lumayan panjang hahaha). Komentar saya bukan semata-mata mencari pembenaran dari kritik bung Himawan, saya hanya kebetulan tidak begitu memikirkan lebih tentang beberapa aspek yang dijelaskan karena menurut saya termasuk logika yang bisa diabaikan, sehingga muncullah komen ini.
Yang jelas dari segala kekurangan filmnya, film ini cukup membuat saya menahan napas dengan suspense dan ketegangan yang disajikan hingga menarik napas puas saat melihat ekspresi si ibu di adegan akhir film,,