A Star Is Born (2018)
136 min|Drama, Music, Romance|05 Oct 2018
7.6Rating: 7.6 / 10 from 430,265 usersMetascore: 88
A musician helps a young singer find fame as age and alcoholism send his own career into a downward spiral.

A Star Is Born tercatat telah dua kali di-remake sejak rilis film aslinya pada tahun 1937. Dua remake berikutnya, diproduksi pada tahun 1954 dan 1976 yang keduanya sama-sama sukses baik kritik maupun komersial. Film remake ketiganya kali ini disutradarai oleh aktor kondang Bradley Cooper (debut sutradara) yang juga sekaligus bermain di dalamnya. Penyanyi kenamaan, Lady Gaga bermain sebagai aktris utama, serta pula aktor gaek Sam Elliot. Mampukah remake ketiganya ini meraih sukses kritik dan komersial seperti sebelumnya?

Alkisah Jackson Maine adalah penyanyi country kenamaan yang kini tengah tur di California. Jackson adalah seorang alkoholik dan ketergantungan obat, ditambah pula sakit telinga berdenging yang semakin parah. Sepulang konser, ia berkunjung ke sebuah bar lokal untuk mencari bir. Di sana, ia bertemu dengan Ally yang tengah pentas, dan ia sangat terkesan dengan suara dan kepribadian sang gadis. Jackson membawa sang gadis datang ke konsernya dan bahkan memaksanya bernyanyi sehingga bakatnya diketahui publik luas. Sejak itu, karir Ally menanjak sementara Jackson justru semakin memudar karena kebiasaan lamanya.

A Star Is Born sudah dua kali di-remake dan total 3 filmnya tentu sudah sangat akrab di kalangan penikmat film. Pada dua film pertama (1937 dan 1954), kisahnya terfokus pada industri film Hollywood, dan filmnya disajikan melalui genre musikal. Sementara remake ke dua (1976) adalah film drama roman yang berlatar industri musik. A Star Is Born versi ketiganya ini, sama sekali tidak mencoba sesuatu yang baru dari sisi cerita, namun justru memberikan tribute pada ketiga film sebelumnya. Alur kisahnya adalah tribute dari dua film klasiknya, namun berlatar cerita industri musik. Untuk penonton film lamanya, film ini bakal terasa sebagai petualangan baru yang mengasyikkan melihat kelokan-kelokan plot yang ditawarkan dengan klimaks dan penutup yang pasti telah familiar. Bagi penikmat baru, filmnya mungkin bakal terasa datar, terlalu cepat, dan mudah diantisipasi. Sejak 10 menit pertama jika jeli, bakal tahu film ini bakal mengarah ke mana kelak.

Baca Juga  Silverton Siege

Kekuatan filmnya sendiri ada pada semua segmen lagunya dan dua penampilan bintang utamanya, Cooper dan Gaga yang bermain sangat menawan. Cooper mampu bermain sangat brilian sebagai Jackson dan membawakan semua lagu yang ia nyanyikan sendiri, layaknya seorang bintang. Sementara Gaga, siapa yang tak kenal dengan vokalnya yang khas, namun kemampuan aktingnya ternyata sama baiknya dengan kemampuan olah vokalnya. Keduanya memiliki ikatan yang kuat dalam filmnya yang dipertegas melalui lirik-lirik lagu yang mereka bawakan. Kualitas sinematografi melalui sudut dan komposisinya yang sangat terukur juga sangat mendukung momen-momen dramatik dalam filmnya. Beberapa shot di atas pentas beberapa kali disajikan dengan sangat elegan.

Dengan dukungan kuat penampilan dua pemain utamanya serta sinematografi yang sangat menawan, A Star Is Born adalah tribute istimewa untuk film dan remake sebelumnya. Kisahnya memang tak lagi orisinal, namun film ini memiliki kekuatan tersendiri dibandingkan film-film sebelumnya. A Star is Born kali ini lepas dari tiga film sebelumnya dengan memasukkan unsur realisme yang kental serta isu kekinian. Lady Gaga yang kita kenal sebagai biseksual dan aktivis LGBT, juga memasukkan unsur ini pada segmen pembuka filmnya. Film ini juga sekaligus memperlihatkan talenta Bradley Cooper sebagai seorang sutradara baru yang sama sekali tak bisa dianggap remeh. Tak ada keraguan, film ini bakal sukses mengikuti film-film sebelumnya, baik komersial maupun kritik, termasuk tradisi dalam ajang Academy Awards.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaAsih
Artikel BerikutnyaHalloween
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses