RRR (2022)
187 min|Action, Adventure, Drama|25 Mar 2022
7.8Rating: 7.8 / 10 from 178,395 usersMetascore: 83
A fearless warrior on a perilous mission comes face to face with a steely cop serving British forces in this epic saga set in pre-independent India.

RRR akhir-akhir ini jadi buah bibir karena prestasinya yang luar biasa. Bukan cuma sukses komersial, namun juga sukses secara kritik. Ini adalah satu pencapaian langka untuk film mainstream Bollywood, selain Lagaan (2001) tentunya, yang sukses meraih nominasi Oscar untuk kategori film berbahasa asing terbaik kala itu. Hingga kini, tercatat RRR menjadi pemenang dalam ajang Hollywood Critics Assosiation, New York Film Critics Circle Awards, Atalanta Film Critics Circle serta lainnya. Istimewanya lagi, film ini tercatat sebagai film termahal di India dengan bujet produksi USD 72 juta. Wow, ada apa dengan RRR? Begitu istimewakah? Saya tergelitik untuk menonton filmnya, walau terbilang telat.

RRR disutradarai S.S. Rajamouli yang juga mengarahkan seri sukses Baahubali dengan dua filmnya. Bersama seri Baahubali, RRR termasuk tipikal film masala (musikal India) lazimnya dengan menggunakan bahasa aslinya, Telugu. Seperti kita tahu, film India mainstream (box-office) didominasi oleh bahasa Hindi. Film berbahasa Telugu/Tamil yang sukses komersial macam tiga film di atas, amatlah langka. Rajamouli yang sudah memproduksi dua film epik raksasa sukses, bukan hal sulit untuk membuat RRR. Film ini dibintangi oleh N.T. Rama Rao, Ram Charan, Alia Bhat, Ajay Devgan, Ray Stevenson, dan Olivia Morris.

Kisah film berlatar tahun 1920, ketika Bangsa Inggris masih mengkoloni India secara otoriter. Alkisah Gubernur Inggris, Scott Buxter dan istrinya berkunjung ke suku Gondi di wilayah pedalaman. Sang istri yang terhibur dengan suara emas seorang gadis cilik, membawanya paksa ke kota dengan membunuh sang ibu dengan brutal. Sang penjaga suku yang berkekuatan fisik melebihi Harimau, Bheem (Rao), meluncur ke Delhi untuk membawa kembali sang gadis. Hal ini pun terdengar pihak Inggris. Mereka pun mengutus perwira lokal yang ambisius dan tangguh bernama Raju (Ram) untuk turun ke lapangan. Namun, setelah aksi penyelamatan satu warga yang heroik oleh Bheem dan Raju, keduanya justru bersahabat tanpa tahu jika mereka sebenarnya ada di pihak yang berlawanan.

Berdurasi lebih dari 3 jam, memberi kesan bahwa RRR adalah satu tontonan yang melelahkan. Justru sebaliknya, alur plotnya yang bertempo cepat memberi satu sajian hiburan dengan aksi-aksi gila yang mustahil dilakukan film-film barat. Dengan aksi-aksi absurd ala Bollywood, film ini menyajikan satu rangkaian aksi nonstop yang menghibur. Satu contohnya, adalah satu segmen ketika Raju harus menghadapai ratusan massa yang  tengah protes dengan brutalnya. Bak superhero, Raju menghalau para demonstran hanya untuk menangkap satu orang dalang kerusuhan. Tak ada yang logis dalam aksinya, namun jujur, sisi absurdnya justru memberi satu pengalaman visual yang jarang kita lihat dalam medium film.

Baca Juga  Membaca Buku-Buku Montase Press

Tak hanya aksi, segmen musikalnya pun disajikan kolosal, walau tak sebanyak film-film masala lazimnya. Tercatat, hanya dua kali segmen musikal besar disajikan, yakni pada pesta dansa di Delhi dan segmen penutup, di mana semua bintangnya turut berjoget dengan eloknya. Untuk urusan berjoget, film masala adalah jagonya, dan RRR menyajikannya dengan gaya berkelas. Satu lagi, bukan film masala jika tak ada selipan romannya. Walau tak dominan, namun relasi dua tokoh utama dengan love interest mereka juga disajikan baik. Setidaknya, dua sosok perempuannya tidak semata hanya tempelan cerita.

Dengan segala atribut tipikal film mainstream India, RRR adalah sebuah hiburan maksimal bagi penonton, walau lubang plotnya sama banyaknya dengan peluru yang berdesingan dalam filmnya. Fisik yang tak pernah ada habisnya. Peluru dan anak panah yang tak ada habisnya. Pasukan musuh yang tak ada habisnya. Sang jagoan yang tak pernah ada matinya. Seberapa sih, daya tahan seorang manusia? Belum lagi, plot yang selalu serba kebetulan. Hei ini film masala bung! Tak ada yang tak mungkin di sini. Penonton di sana memang menggilai aksi roman dan aksi berlebihan macam ini. Apa kalian tidak terhibur? Ya, saya sangat terhibur, terkadang geli melihat aksinya, tertawa melihat sisi humornya, dan kadang pun pedih melihat sisi roman yang pahit, serta terkesima untuk ke sekian ratus kalinya melihat sekuen musikalnya (film masala) yang berkelas. Setelah puluhan bahkan ratusan film sejenis dari sekian dekade, agak mengagetkan juga, akhirnya para pengamat dan penikmat dari barat, mengangapnya satu karyanya (RRR) sebuah film yang spesial. Lagaan, bagi saya jauh lebih elegan dari RRR. Atau mungkin ini punya relasi dengan kematian ratu Inggris beberapa waktu lalu yang menjadi simbol masa keemasan Kolonial Inggris? Entahlah.

1
2
Artikel SebelumnyaNagih Janji Cinta
Artikel BerikutnyaLike & Share
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses