Ada anggapan—terutama setelah The Dark Knight Rises (2012)—nonton film Christopher Nolan (46) meninggalkan “after taste” tak nyaman. Terasa sangat keren ketika baru usai ditonton, namun setelah dipikir masak-masak muncul kesimpulan lain: ternyata tak sebrilian kelihatannya. Maka, ketika nonton Dunkirk, yang paling bikin saya penasaran adalah “after taste” macam apa yang muncul sejam, 12 jam, dan 24 jam setelah nonton filmnya?
Setelah layar ditutup dan lampu teater dinyalakan, pertanda film berakhir, reaksi pertama saya, “Filmnya begini saja?”
Dunkirk sungguh beda dengan film-film Nolan sebelumnya. Ia bukan Inception (2010) yang bisa ditarik ke teori mimpi Freudian; atau The Dark Knight (2008) yang mengagungkan nihilisme dan anarkisme; dan bukan pula Interstellar (2014) yang mempertanyaan eksistensi manusia di jagat raya yang maha luas.
Saya mencari-cari nilai filosofis apa yang bisa diambil dari Dunkirk. Dua belas jam setelah nonton filmnya, hanya ada satu hal yang saya petik: survival alias bertahan hidup. Film ini diangkat dari kisah nyata saat Perang Dunia II, kala tentara Inggris terkepung Nazi Jerman pada 1940 di kota Dunkirk, Prancis. Ribuan serdadu menunggu nasib diselamatkan dari tepi pantai, sambil sewaktu-waktu dibom atau ditembaki.
Inti kisahnya itu saja. Tak lebih. Dari segi narasi film ini dengan mudah bisa dijelaskan begini, ambil setiap adegan menegangkan dari film-film Nolan terdahulu, lengkap dengan musiknya yang intens, maka itulah Dunkirk.
Filmnya menyuguhkan ketegangan yang menggedor jantung sepanjang seratus menit lebih sedikit. Musik Hans Zimmer dimulai dari perlahan tapi lama-kelamaan kian intens seiring gambar di layar menunjukkan nasib tokoh-tokohnya di ambang maut. Ingat musik saat adegan perampokan bank yang jadi prolog The Dark Knight? Nah, sepanjang Dunkirk kita disuguhi musik begitu terus.
Meski miskin nilai filosofis bukan Nolan namanya bila menyuguhkan sesuatu yang biasa. Dari sisi teknis, Dunkirk luar biasa unggul. Disyut dengan kamera khusus IMAX, film ini konon paling nikmat ditonton di bioskop IMAX. Well, bagi saya itu trik pasar saja (Ingat, tiket bioskop IMAX lebih mahal!). Ditonton di layar lebar bioskop biasa pun film ini tetap asyik dinikmati.
Nolan punya gaya penceritaan non-linear yang unik, yang semakin diikuti membuat penontonnya merasa pintar (O iya, ini satu lagi keunggulan film-film Nolan: ia memperlakukan penontonnya dengan cerdas. Kita merasa pintar bila akhirnya memahami filmnya.). Tengok pula betapa cerdasnya ia membangun ketegangan lewat wajah-wajah ketakutan serdadu Inggris tanpa sedikitpun memerlihatkan kebengisan wajah tentara Nazi—kecuali sekelebatan di ujung film. Itupun blur.
Dan hampir 24 jam setelah nonton, saya kembali ke soal “after taste.” Saya ralat kalau Dunkirk sekadar film perang yang tegang. Saya dapati ada nilai heroisme dan patriotisme dalam Dunkirk. Bila Steven Spielberg berhasil mempersembahkan penghargaan yang tinggi bagi serdadu AS yang berjuang meregang nyawa ketika pendaratan di Normandia saat D-Day lewat Saving private Ryan (1998), Dunkirk semacam kado istimewa Nolan bagi kampung halamannya, Inggris. ***