Aladdin (2019)
128 min|Adventure, Comedy, Family|24 May 2019
6.9Rating: 6.9 / 10 from 296,605 usersMetascore: 53
Aladdin, a kind thief, woos Jasmine, the princess of Agrabah, with the help of Genie. When Jafar, the grand vizier, tries to usurp the king, Jasmine, Aladdin and Genie must stop him from succeeding.

Aladdin adalah film remake live-action kesekian kalinya yang diproduksi Walt Disney Pictures. Melihat sukses film pendahulunya, sebut saja Cinderella, Maleficent, The Jungle Book, hingga Beauty and the Beast, wajar saja jika film terbaru mereka, Aladdin, dirilis dengan penuh ekspektasi. Sineas kawakan asal Inggris, Guy Ritchie (Snacth, seri Sherlock Holmes) kini dipercaya menggarap filmnya dengan bintang utama Will Smith sebagai sang jin. Film berdurasi 128 menit ini dibintangi juga oleh Mena Massoud, Naomi Scott, Marwan Kenzari, serta Nasim Pedrad. Apakah versi live action-nya ini lebih baik dari animasinya yang diproduksi tahun 1992?

Alkisah di negeri Agrabah terdapat seorang pemuda miskin benama Aladdin yang dikenal sebagai pencuri jalanan walau ia sebenarnya berhati baik. Sementara di istana, sang penasihat raja, Jafar, ingin menguasai kerajaan dengan menggunakan lampu ajaib yang terdapat di gua terlarang. Konon hanya seseorang yang berhati mulia yang mampu masuk ke dalam gua tersebut, yakni Aladdin. Sementara sang pemuda jatuh hati pada seorang gadis muda cantik yang ternyata adalah putri sang raja, Jasmine.

Dibuka dengan opening yang meyakinkan, tak banyak yang perlu dibahas soal plotnya karena nyaris seluruhnya sama persis dengan versi animasinya. Film live action jelas memiliki banyak keterbatasan yang tak mungkin menjangkau dimensi fantasi dan sisi magis versi animasinya. Hal inilah yang menjadi penyebab utama film remake-nya terbilang gagal yang tampak dalam semua segmen musikalnya yang kurang bertaji. Contohnya saja satu pada nomor rancak, Friend Like Me, di mana aksi-aksi absurd sang jin terasa garing jika dibandingkan dengan versi aslinya. Adakalanya versi animasi memang medium yang paling ideal untuk visualisasi semacam ini. Setting yang tampak sekali artifisial juga sama sekali tidak mendukung kisah filmnya. Semuanya terasa serba memaksa sehingga sulit untuk bisa masuk ke dalam kisah sepanjang filmnya.

Bicara soal memaksa, hal ini tampak pula dalam kasting para pemainnya. Sosok Aladdin, Jin, dan Jafar sangat tidak pas diperankan oleh sosok para pemainnya. Mereka tak bisa bermain lepas. Bicara Will Smith, kita semua tahu mengapa ia dikasting, namun sang bintang tak mampu memberikan sentuhan magis dan humor mendiang Robin Williams (walau hanya dubbing tapi sosok Gennie adalah terasa sekali memiliki jiwa sang bintang). Smith tampak sudah mencoba maksimal, namun semuanya terasa datar. Komedinya pun garing. Lalu, banyak segmen dialog dan akting para pemain dalam banyak adegan terasa menggelikan, seolah kita menonton pertunjukan teater yang buruk. Aksen pun terdengar kacau. Sekali pun memang, Naomi Scott sebagai Jasmine bermain jauh dari kata buruk. Scott seorang tak akan mampu mengangkat filmnya. Lalu bagaimana Mena Massoud sebagai sang tokoh utama dan Kenzari sebagai Jafar? OMG. No comment.

Sekarang bicara musik dan lagunya yang menjadi jantung filmnya. Aladdin versi animasi, bersama The Little Mermaid, The Beauty and the Beast, serta Lion King adalah contoh sempurna film musikal dengan nomor-nomornya yang melegenda dan mudah dikenang. Remake Beauty and the Beast tahun lalu bisa mendapatkan ruh musiknya, namun kali ini tidak untuk Aladdin. Visualisasi adegan yang menjadi kunci keberhasilan segmen musikalnya kini gagal dilakukan Aladdin. Semua terasa serba cepat, memaksa, dan artifisial. Segmen musikal “A Whole New World” yang seharusnya dikenang, terasa sekali tak berjiwa, jauh berbeda dengan versi animasinya yang mampu membuat kita bergidik. Dialognya setelah segmen ini ketika Jasmine memancing identitas Aladdin dengan monyetnya, Abu sungguh-sungguh menggelikan. Segmen nomor “Prince Ali” yang dinamis dan kocak, sekali lagi, sang maestro Robin Williams memang tak tergantikan. Beberapa nomor baru yang tak ada dalam versi animasinya, entah mengapa terasa tidak sejiwa dengan tone lagu-lagu lainnya. Sungguh sayang sekali.

Baca Juga  Bloodshot

Kadang film remake tidak perlu dibuat karena sederhana saja, film aslinya tidak tergantikan. Aladdin versi live-action adalah satu contoh buruk yang memaksa dalam nyaris semua aspeknya, seperti pilihan kasting, akting pemain, dialog, aksen, setting, hingga lagu serta musiknya, seluruhnya tak memiliki jiwa layaknya versi animasinya. Sentuhan sang sineas kawakan, nyaris tak tampak dalam filmnya, kecuali segmen kejar-mengejar pada pembuka film serta efek slow-motion andalannya. Jika saja, saya memiliki lampu ajaib dan memiliki satu pilihan saja ketika menonton. Saya akan minta untuk menghapus memori ketika menonton film ini. Aladdin adalah salah satu film animasi favorit dan semua pencapaian dalam film ini terasa sangat menyakitkan.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
20 %
Artikel SebelumnyaAvengers: Endgame Semakin Dekati Avatar
Artikel BerikutnyaThe Gangster, The Cop, The Devil
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.