Alice Through the Looking Glass (2016)

113 min|Adventure, Family, Fantasy|27 May 2016
6.2Rating: 6.2 / 10 from 123,997 usersMetascore: 34
Alice is appointed to save her beloved Mad Hatter from deadly grief by travelling back to the past, but this means fatally harming Time himself, the noble clockwork man with the device needed to save the Hatter's family from the R…

Alice in Wonderland (2010) garapan sineas kondang Tim Burton diluar dugaan meraih sukses fenomenal baik kritik maupun komersil. Tak heran beberapa tahun setelahnya sekuelnya diproduksi namun sayangnya Burton tak kembali di kursi sutradara tetapi hanya produser. Sentuhan ekspresionistik yang menjadi gayanya jelas menjadi daya tarik film-film Burton tidak terkecuali film sekuelnya ini. Cerita masih melanjutkan kisah pendahulunya dan diadaptasi lepas dari novel berjudul sama karya Lewis Caroll.

Alice yang kini adalah menjadi nahkoda kapal seperti ayahnya berdagang menjelahi lautan lepas selama 3 tahun lamanya. Selama itu perusahaan ayahnya ternyata diambil-alih oleh Hamish, mantan tunangannya yang pernah ia tolak. Alice dipaksa Hamish untuk menjual kapalnya jika tidak ingin ibunya kehilangan rumahnya. Alice menolak dan sekali lagi ia lari dan masuk ke dalam dunia Underland. Disana ia menemui masalah baru, Mad Hatter yang teringat keluarganya yang telah tewas kehilangan semangat hidupnya. Alice kini harus berurusan dengan sang waktu, dan kembali ke masa lalu untuk menyelamatkan keluarga Mad Hatter.

Seperti sebelumnya formula plotnya nyaris sama dengan inti cerita yang serupa hanya dengan konflik masalah yang berbeda. Semua karakter dari film sebelumnya muncul dan inti konflik kisahnya pun masih berhubungan dengan film pertamanya. Kisah menjadi menarik ketika Alice harus kembali ke masa lalu menjelajahi lautan waktu demi waktu untuk mencoba memperbaiki masa lalu. Klimaks pun menghadirkan segmen aksi yang menarik. Kekuatan film ini adalah memiliki muatan pesan keluarga yang kuat lebih dari sebelumnya. Kelemahan film ini justru ada pada alur cerita yang sangat kompleks terlebih untuk anak-anak. Penonton disuguhi informasi demi informasi begitu cepat sehingga menjadi cepat lelah dan bosan.

Baca Juga  Creed II

Pendekatan Burton pada sisi artistik masih dominan dan seperti Alice in Wonderland masih sangat bertumpu pada penggunaan CGI. Kisah yang sudah melelahkan ditambah pula dengan gemerlapnya CGI membuat segalanya menjadi terlalu mekanik dan artifisial. Hal yang sedikit menolong adalah penampilan para pemainnya yang bermain baik khususnya, Helena Bonham Carter (Red Queen) yang tampil amat mencuri perhatian. Jika saha sisi drama lebih ditonjolkan ketimbang setting-nya bisa jadi hasilnya akan jauh lebih baik. Ilustrasi musik seperti sebelum-sebelumnya yang didalangi Danny elfman, kolaborator tetap Burton, menyajikan score yang kuat mengiringi tiap adegannya namun tetap saja tidak mampu mengangkat filmnya secara keseluruhan.

Alice Through The Looking Glass memiliki pesan keluarga yang amat kuat lebih dari sebelumnya namun sayangnya baik kemasan cerita maupun efek CGI sama-sama terlalu melelahkan. Setting CGI untuk pendekatan ekspresionis Burton tampaknya bukan solusi yang ideal untuk film-film live action-nya. Nuansa suram dan gelap justru dilemahkan dengan gemerlapnya CGI. Sekali lagi amat disayangkan karena pesan dalam film ini adalah salah satu yang terkuat dari film-film Burton lainnya. Sekali lagi, Alice diberi pelajaran tentang hidup bagaimana menyikapi masa lalu serta tidak mengambil keputusan untuk dirinya sendiri namun juga orang lain, khususnya keluarganya. Semoga Burton tidak menggunakan pendekatan yang sama untuk filmnya Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children yang akan rilis bulan september depan ini. Kita lihat saja.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaSuicide Squad Pecahkan Rekor Minggu Pertama!
Artikel BerikutnyaLights Out
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.