Alice in Wonderland (2010) garapan sineas kondang Tim Burton diluar dugaan meraih sukses fenomenal baik kritik maupun komersil. Tak heran beberapa tahun setelahnya sekuelnya diproduksi namun sayangnya Burton tak kembali di kursi sutradara tetapi hanya produser. Sentuhan ekspresionistik yang menjadi gayanya jelas menjadi daya tarik film-film Burton tidak terkecuali film sekuelnya ini. Cerita masih melanjutkan kisah pendahulunya dan diadaptasi lepas dari novel berjudul sama karya Lewis Caroll.
Alice yang kini adalah menjadi nahkoda kapal seperti ayahnya berdagang menjelahi lautan lepas selama 3 tahun lamanya. Selama itu perusahaan ayahnya ternyata diambil-alih oleh Hamish, mantan tunangannya yang pernah ia tolak. Alice dipaksa Hamish untuk menjual kapalnya jika tidak ingin ibunya kehilangan rumahnya. Alice menolak dan sekali lagi ia lari dan masuk ke dalam dunia Underland. Disana ia menemui masalah baru, Mad Hatter yang teringat keluarganya yang telah tewas kehilangan semangat hidupnya. Alice kini harus berurusan dengan sang waktu, dan kembali ke masa lalu untuk menyelamatkan keluarga Mad Hatter.
Seperti sebelumnya formula plotnya nyaris sama dengan inti cerita yang serupa hanya dengan konflik masalah yang berbeda. Semua karakter dari film sebelumnya muncul dan inti konflik kisahnya pun masih berhubungan dengan film pertamanya. Kisah menjadi menarik ketika Alice harus kembali ke masa lalu menjelajahi lautan waktu demi waktu untuk mencoba memperbaiki masa lalu. Klimaks pun menghadirkan segmen aksi yang menarik. Kekuatan film ini adalah memiliki muatan pesan keluarga yang kuat lebih dari sebelumnya. Kelemahan film ini justru ada pada alur cerita yang sangat kompleks terlebih untuk anak-anak. Penonton disuguhi informasi demi informasi begitu cepat sehingga menjadi cepat lelah dan bosan.
Pendekatan Burton pada sisi artistik masih dominan dan seperti Alice in Wonderland masih sangat bertumpu pada penggunaan CGI. Kisah yang sudah melelahkan ditambah pula dengan gemerlapnya CGI membuat segalanya menjadi terlalu mekanik dan artifisial. Hal yang sedikit menolong adalah penampilan para pemainnya yang bermain baik khususnya, Helena Bonham Carter (Red Queen) yang tampil amat mencuri perhatian. Jika saha sisi drama lebih ditonjolkan ketimbang setting-nya bisa jadi hasilnya akan jauh lebih baik. Ilustrasi musik seperti sebelum-sebelumnya yang didalangi Danny elfman, kolaborator tetap Burton, menyajikan score yang kuat mengiringi tiap adegannya namun tetap saja tidak mampu mengangkat filmnya secara keseluruhan.
Alice Through The Looking Glass memiliki pesan keluarga yang amat kuat lebih dari sebelumnya namun sayangnya baik kemasan cerita maupun efek CGI sama-sama terlalu melelahkan. Setting CGI untuk pendekatan ekspresionis Burton tampaknya bukan solusi yang ideal untuk film-film live action-nya. Nuansa suram dan gelap justru dilemahkan dengan gemerlapnya CGI. Sekali lagi amat disayangkan karena pesan dalam film ini adalah salah satu yang terkuat dari film-film Burton lainnya. Sekali lagi, Alice diberi pelajaran tentang hidup bagaimana menyikapi masa lalu serta tidak mengambil keputusan untuk dirinya sendiri namun juga orang lain, khususnya keluarganya. Semoga Burton tidak menggunakan pendekatan yang sama untuk filmnya Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children yang akan rilis bulan september depan ini. Kita lihat saja.
WATCH TRAILER