Setelah beberapa kali memproduksi sekuel hingga cross over-nya, seri ikonik Alien kini kembali back to the original. Alien Romulus digarap oleh sineas asal Uruguay, Fede Alvares dengan diproduseri sendiri oleh sang kreator Ridley Scott. Film ini dibintangi beberapa bintang muda, yakni Cailee Spaeny, David Jonsson, Archie Renaux, Isabela Merced, Spike Fearn, dan Aileen Wu. Dengan bermodal USD 80 juta, apa lagi yang bakal ditawarkan seri terbaru Alien kali ini? Ekspektasi jelas tidak tinggi.

Kisahnya bermula setelah sesaat peristiwa Alien (1979) di mana pesawat induk angkasa Nostromo hancur lebur.  Kapal induk milik perusahaan Weyland, Romulus, tak lama tiba di sana dan berhasil mengambil sampel asing (alien) dan seperti sudah diduga sang alien menghabisi seluruh awak kapal. Beberapa dekade kemudian, pesawat induk tersebut terombang-ambing di sebuah orbit planet yang berisi tambang mineral dengan ribuan pekerjanya.

Rain (Spaeny) dan rekan androidnya, Andy (Jonsson) adalah pekerja tambang yang berharap pergi ke planet impian mereka, setelah kontrak mereka selesai. Rupanya pengajuan mereka ditolak oleh perusahaan. Rain pun tidak menampik tawaran Tyler dan tiga rekannya yang mengajaknya untuk mencuri kapal perusaahaan yang terdampar di orbit planet untuk bisa pergi dari sana. Seperti sudah diduga, pesawat tersebut adalah kapal induk Romulus yang berisi spesimen paling berbahaya di seluruh alam semesta.

Setelah dua film prekuel, Prometheus (2012) dan Alien: Covenant (2017), walau tidak terbilang buruk, namun seri ini seolah mandek, tak ada kisah lagi yang bisa diolah. Ketika Alien: Romulus diproduksi tentu tak banyak ekspektasi lagi. Bioskop yang hanya ditonton segelintir orang (di Jogja) menandakan bahwa tak ada peminat lagi seri klasik ini. Namun, siapa sangka, Romulus mencoba meramu ulang formula dasar, dua seri pendahulunya dengan memadukan elemen film-film tersebut dalam plotnya. Hasilnya, adalah aksi thriller yang banyak mengadopsi seri klasiknya dan memiliki nilai sentimental bagi para fansnya.

Seperti dua seri aslinya, Romulus menggunakan aksi nonstop tanpa jeda. Sejak transisi babak kedua hingga akhir kisahnya, aksi ketegangan terus mengalir tanpa henti dengan nyaris tidak memberi kita kesempatan untuk rehat. Apa yang kita harapkan dari lima orang pekerja tambang dan satu android untuk bisa lepas dari situasi “Aliens” yang sudah kita kenal betul? Satu peleton pasukan militer khusus bersenjata lengkap pun tak mampu, tentu mustahil mereka akan selamat. Namun naskahnya cukup cerdik memanfaatkan situasi untuk mereka bisa bertahan hidup secara natural dan tidak memaksa.

Baca Juga  The Tourist

Sosok sang android, Andy menjadi penyeimbang kisahnya dan menjadi penghubung antara kisah ini dengan monster Alien yang sudah kita kenal betul. Dengan meng-update chip di kepala Andy, mendadak sosok android baik hati dan lemah ini berubah menjadi “kacung” perusahaan Weyland yang sudah kita kenal betul karakternya. Sosok “Ash” di Alien dan sosok Bishop di Aliens. Bahkan android versi “Ash” juga muncul di sini. Sisi manusiawi menjadi faktor kuat dalam transisi sosok Andy, sekaligus menjadikan tokoh Rain sebagai pengganti protagonis ikonik, Ellen Ripley (Sigourney Weaver). Walau tak bisa dibandingkan, Cailee Spaeny sama sekali bermain tak buruk.

Plotnya jelas sekali memberi tribute kuat pada Alien dan Aliens. Setting interior suram dan tombol serta layar “komputer jadul” yang menjadi nuansa set lawasnya. Monster-monster kecil (facehugger) yang menempel wajah korbannya hingga keluar menembus perut mereka tentu sudah akrab di mata fans serinya. Transisi sang monster Xenomorph lagi-lagi mendapat momen khusus dalam satu pengadeganannya. Momen klimaks ketika Rain kembali menyelamatkan Andy mirip dengan plot Aliens. Sementara momen genting di penghujung yang menjadi aksi bonus mengkombinasi aksi klimaks Alien dan Aliens. Tak lupa, kata-kata ikonik, Stay away from her you b****! Pun tak luput disertakan. Alien: Romulus adalah sekuel sekaligus “soft reboot” yang penuh tribute dua film awalnya yang tentunya bakal memuaskan fans serinya.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
75 %
Artikel SebelumnyaVINA: SEBELUM 7 HARI, TRAGEDI DALAM KOSMETIK HOROR
Artikel BerikutnyaVina: Sebelum 7 Hari | Fenomena Spiritual, Viralitas, dan Pengungkapan Fakta Sosial
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.