Banyak yang bisa ditampilkan—disodorkan ke khalayak luas lewat medium film. Film, boleh jadi memiliki kegunaan yang luas dari masing-masing personal maupun sekumpulan banyak orang. Film, bisa menjadi alat komunikasi, ekspresi diri—di samping sisi hiburannya. Bahkan bisa jadi semacam injeksi kesadaran dari peristiwa yang jamak, semisal sikap terhadap perang. Itulah yang kemudian disaring oleh banyak sutradara, menjadi sebuah film, seperti Saving Private Ryan, Platoon, dan Empire of the Sun. Contoh yang lebih dekat adalah film Jojo Rabbit, yang lahir dari tangan Taika Waititi—membawa serta mendemonstrasikan sikap anti perang lewat gaya yang humoris. Begitu jauh berbeda dengan film yang kali ini akan kita bahas. Segalanya mengerikan. Semuanya asing dari kata humanis.
“Tuhan pun melihat, selagi kita saling bantai.”
All Quiet on the Western Front adalah sebuah film epik sejarah garapan sutradara Edward Berger. Film tersebut didasari pada karya novel dengan judul yang sama dari Erich Maria Remarque. Perlu kita ketahui bahwa film ini sudah pernah dibuat pada tahun 1930 dan 1979, yang mana mungkin plot serta susunan kisah tak jauh berbeda. Diperankan oleh Felix Kammerer, Daniel Bruhr, Albrecht Schuch, Aaron Hilmer, Edin Hasanovic, dan masih berlimpah lagi. All Quiet on the Western Front juga menjadi debut profesional dari Felix Kammerer sebagai aktor film—yang sebelumnya bergiat sebagai aktor panggung. Film ini mengangkat peristiwa Perang Dunia I, antara Perancis dan Jerman. Menggambarkan pengaruh dan efek dari kengerian perang yang menyerang seorang kamerad muda.
Paul Baumer, seorang pemuda yang berumur 19 tahun mendaftarkan diri sebagai kamerad dalam Perang Dunia I. Bersama ketiga temannya, iming-iming kepahlawanan dari pemerintah Jerman menjadi pemantik daripada keberanian dan semangat mereka untuk pergi berperang. Garis depan wilayah barat adalah tempat mereka berempat mengemban tugas. Menghalau serangan dari tentara Perancis dalam peperangan parit untuk perebutan wilayah Latierre. Di parit yang sudah kacau balau itu, Paul bertemu dan berkenalan dengan Kat dan Tjaden—yang telah lebih lama berada di sana. Melihat perang yang tak membuahkan apapun, selain traumatik. Bersama kawan-kawannya, Paul kemudian melihat perang tak seperti harapannya yang labil. Kebrutalan, kebuasan, dan kebengisan perang memupuskan harap patriotisme dalam dirinya—begitupun ketiga sahabatnya. Hanya ada awas, juga ketakutan-ketakutan yang memadat.
Bila Jojo Rabbit menegaskan sikap anti perang lewat lelucon-lelucon jenaka. All Quiet on the Western Front menegaskan sikap anti perang melalui kematian, tangisan serta harapan yang pupus. Realitas perang yang ternyata tampil begitu mengerikan di depan mata Paul mengggugurkan kepercayaannya untuk bisa hidup. Perang yang awal mulanya ditujukan pada kecintaan terhadap tanah air—sedikit demi sedikit terkikiskan menjadi kebencian. Kehilangan tak mampu dibendung setiap individu. Tak ada aktualisasi membela negara dalam film ini. Membunuh adalah jalan untuk pulang menemui anak, istri, ibu, serta keluarga yang menanti.
Melihat kengerian dan kebrutalan perang dalam All Quiet on the Western Front membuat saya mengambil kesimpulan bahwa Edward Berger telah selesai dalam persoalannya terhadap narasi. Tak ada kerusakan plot yang signifikan dalam filmnya. Cerita yang mengalir dari ladang tempur hingga usaha tokoh sosial-demokratis Jerman dalam perundingan gencatan senjata bersama pihak Perancis tersaji dengan mulus—didampingi latar musik yang menyengat. Penampakan jenderal yang haus perang dan tidak tahu malu juga diinformasikan dengan porsinya yang cukup—tidak berlebihan dan tidak over ruang—melengkapi sikap satir yang ingin dilahirkan. Dan efek perang yang disajikan pun begitu lekat. Terlihat dari raut wajah Paul yang semakin hari semakin berubah. Wajahnya penuh lumpur kering—matanya membelalak, tangisannya terkadang sulit untuk jatuh, senyumannya memunculkan keriput yang kasar pada pelipis dan pada kedua pipi tirusnya.
Edward Berger, dalam pemanfaatan kecilnya terhadap formula Sam Mendes di film 1912, begitu baik membangun suasana yang histeria. Kegentingan dan keputusasaan berenang di medan pertempuran antara Jerman dan Perancis. Mimpi buruk peperangan menjadi wahana yang totalitas dan intens tampil tanpa ada banyak jeda yang lebar. Lewat long take yang lugas ketika tembak-menembak, lewat handheld yang sangar ketika tebas-menebas. Namun yang lebih nyata adalah tatapan dan tangisan Paul kepada mayat kawan-kawannya yang mati—itu menjadi adegan yang menonjol dalam film ini—tersaji lewat close up yang jelas ketika Paul bergeming diam menatap mata-mata manusia yang terpejam, ketika Paul mengerutkan wajah dari ketidakmampuannya meneteskan air mata. Walhasil, efek traumatik—segala dampak yang menusuk psikologis kamerad muda—dan sekaligus menjadi sikap anti perang yang metaforis tanpa banyak dituai lewat dialog—begitu erat begitu padat tersalurkan ke hadapan penonton.