Alpha (2018)
96 min|Action, Adventure, Drama|17 Aug 2018
6.6Rating: 6.6 / 10 from 67,167 usersMetascore: 63
In the prehistoric past, a young man struggles to return home after being separated from his tribe during a buffalo hunt. He finds a similarly lost wolf companion and starts a friendship that would change humanity.

Jarang sekali film yang mengangkat kisah kehidupan jauh di masa lampau. 10.000 BC memang bukan contoh ideal, namun keberanian untuk mengangkat kisah dengan latar cerita jauh sebelum Masehi patut diapresiasi. Contoh film terdekat yang ideal adalah Apocalypto, walau latar waktu kisahnya terhitung lebih muda. Alpha yang mengambil kisah 20.000 tahun silam, digarap oleh Albert Hughes, jauh dari genrenya yang bertema moral dan kriminal, macam Broken City, The Book of Eli, From Hell, serta American Pimp. Alpha dibintangi Kodi Smit-McPhee sebagai tokoh utama yang mendominasi frame sepanjang filmnya.

Alkisah di Eropa jaman prahistoris, terdapat satu suku nomaden yang dipimpin Tau. Untuk menghadapi musim salju, suku tersebut memiliki tradisi berburu bison untuk menyimpan cadangan makanan selama musim dingin. Putra Tau, Keda yang masih remaja ikut dalam perburuan kali ini walau sang ibu cemas karena anaknya masih belum cukup dewasa. Dalam satu perburuan yang seru, Keda terlempar jatuh ke dalam jurang, dan mustahil untuk ditolong, dan ia pun ditinggal. Tak disangka, Keda ternyata masih hidup dan dengan tekad yang kuat ditemani oleh seekor serigala yang ia tolong. Petualangan perjalanan pulang pun dimulai.

Film dibuka dengan adegan kilas depan yang membuat semua penonton tahu kelak apa yang bakal terjadi selama cerita berjalan. Proses kisahnya sejak awal berjalan datar, tidak hingga plotnya masuk ke babak dua. Kisah sesungguhnya baru dimulai pada titik ini, dan seolah bakal menjanjikan sesuatu yang besar. Ternyata tak ada yang istimewa setelahnya kecuali pesona pemandangan alam yang amat memukau.

Baca Juga  Glass Onion: A Knives Out Mystery

Seperti yang telah dijanjikan trailer-nya, sang serigala pun datang, terluka, dan ia pun lambat laun berteman dengan Keda. Apa yang ditunggu ternyata tidak pernah datang, tak ada kejutan, atau apapun yang mampu menaikkan intensitas konflik. Baik plot maupun kedekatan hubungan antara Keda dan sang serigala terasa kurang menggigit dan relatif datar. Bisa jadi karena kisah sejenis sudah banyak. Plotnya secara umum mirip The Good Dinosaur. Kisah survival-nya mirip The Grey dan The Revenant, serta tentu pertemanan manusia-serigala dalam Dances with Wolves terlalu jauh untuk dibandingkan.

Satu aspek yang sangat menonjol adalah sinematografi. Nyaris semua shot-nya tertata dan terkomposisi dengan sangat matang. Gambar-gambar indah inilah yang membuat kita betah untuk menonton. Beberapa adegan aksi juga disajikan sangat baik, seperti adegan aksi berburu walau banyak mengingatkan pada 300. Satu hal lain yang menarik adalah penggunaan bahasa “asing” sepanjang filmnya. Entah ini akurat atau tidak, seperti halnya Passion of Christ dan Apocalypto, namun usahanya jelas patut dipuji. Bicara soal kasting, rasanya dua film di atas jauh lebih baik, khususnya Apocalypto. Entah mengapa dalam Alpha, sosok manusia puluhan ribu tahun lalu masih terasa terlalu modern untuk masanya.

Alpha menawarkan genre petualangan langka dengan sisi sinematografi yang sangat menggigit, namun tidak demikian dengan kisahnya yang konvensional. Di tengah dominasi genre populer dan film franchise laris lainnya, Alpha jelas menawarkan sesuatu yang berbeda dengan film-film lainnya yang rilis tahun ini. Walau tak menawarkan sesuatu yang segar dan baru, setidaknya keberanian untuk memproduksinya merupakan satu poin lebih.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaBuku Kompilasi Buletin Film Montase Terbit!
Artikel BerikutnyaJohnny English Strikes Again
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.