Amsterdam adalah film drama komedi periodik arahan dan ditulis oleh David O’ Russel yang kita kenal melalui Silver Linings Playbook dan American Hustle. Film ini dibintangi sederetan kasting papan atas, yakni Christian Bale, Margot Robbie, John David Washington, Chris Rock, Anna Taylor-Joy, Zoe Zaldana, Rami Malek hingga Robert Deniro. Berbekal bujet USD 80 juta dan sederetan bintang berkelas di atas, tentunya memberikan ekspektasi yang demikian tinggi.

“This is turning out to be a lot larger than any of us”

Burt (Bale), Valerie (Robbie) dan Harold (Washington) adalah tiga orang yang dipertemukan dalam situasi unik semasa PD I di Amsterdam, Belanda. Beberapa tahun setelahnya, Burt dan Harold bekerja sebagai dokter prostetik dan pengacara di New York. Ketika jenderal mantan atasan mereka tewas misterius, Burt dan Harold dimintai tolong putrinya untuk mengotopsi jenasahnya. Situasi menjadi semakin rumit ketika sang putri pun dibunuh, dan mereka menjadi tersangka utama. Dalam perkembangan, di rumah seorang pengusaha kaya, Tom Vose (Malek), secara tak sengaja mereka bertemu dengan Valerie (Robbie).

Problem terbesar plotnya adalah naskah yang berbelit dengan dialog yang acapkali tidak to the point pada masalahnya. Dialog atau aksi yang mungkin dimaksudkan menjadi selipan humor, tidak bekerja dengan baik. Mengapa? Karena penonton seringkali tidak diberi waktu untuk mencerna apa yang terjadi dan apa yang mereka lakukan dan sewaktu akhirnya paham pun, kita sudah tidak lagi peduli. Ini bisa terjadi karena tokoh-tokohnya terlalu banyak dan masing-masing berusaha mencari perhatian dengan cara mereka. Sisi misteri dan rasa penasaran tidak terpancing, alhasil yang dirasakan adalah rasa lelah.

Amsterdam hanya bermodal sederetan kasting besarnya, dengan kisah yang dibuat rumit, tanpa urgensi isu yang relevan, serta humor tak berselera. Di antara sekian banyak talenta, hanya Bale dan Robbie yang terlihat menonjol, sisanya hanya muncul sekilas dengan tampil “sekonyol mungkin” untuk mendapat perhatian. Lalu bicara soal konspirasi elit politik global, hanya dieksplorasi seadanya tanpa ancaman yang berarti serta memberikan klimaks yang membekas. Isunya pun diolah tanpa adanya refleksi situasi masa kini yang jelas, lantas arahnya untuk apa? Cinta? Duh, betapa klisenya. Dari sisi naskahnya, Amsterdam adalah satu kemunduran besar bagi sang sineas.

Baca Juga  Kingsman: The Golden Circle

 

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaFESTIVAL SINEMA PRANCIS 2022: GENERATION
Artikel BerikutnyaAnimal (Festival Sinema Prancis)
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.