Rilis hari Kamis tanggal 7 November lalu, Anak Kolong adalah film bergenre drama romantis yang diproduksi oleh PIM Pictures bersama MAXStream Studios. Didukung oleh pemerintah dan DPR RI, film yang dibintangi oleh Junior Roberts, Aisyah Aqilah, dan Antonio Blanco Jr. ini memiliki pesan dan amanah di balik kisah cinta di dalamnya. Dengan Soni Gaokasak sebagai sutradaranya, yang sudah menjadi langganan menyutradarai film-film bergenre sama lainnya, menghadirkan nuansa romansa yang kental.
Merasa sesak hidup di bawah ekspektasi ayahnya yang berprofesi sebagai tentara TNI berpangkat Sersan, Arya (Roberts) tumbuh menjadi remaja nakal. Ia gemar berkelahi, terlibat kejar-kejaran dengan geng motornya, mencari masalah, dan memprovokasi orang. Secara keseluruhan, Arya bukanlah siswa yang rajin dan tekun di sekolah. Hidupnya berubah ketika ia bertemu Amira (Aqilah), putri seorang Kolonel yang berhasil memikat hatinya. Namun, hubungan mereka tidak mulus karena kisah cinta segitiga yang melibatkan musuh bebuyutan Arya, Salim (Blanco Jr.). Di tengah semua itu, ayahnya berharap Arya dapat melanjutkan legasinya sebagai anggota TNI dan memintanya untuk lulus dengan baik lalu masuk ke akademi militer. Tentu saja, Arya menolak keinginan ayahnya tersebut.
Sepuluh menit memasuki film ini, mungkin sebagian penonton akan mulai menyadari bahwa ini adalah produksi dengan cerita klise dan pengemasan yang standar. Dua puluh menit kemudian, penonton akan mulai merasa mengantuk karena ceritanya yang begitu tertebak dengan kualitas penulisan novel cinta remaja murahan, atau merasa bergidik cringe dengan betapa cheesy dan over-dramatic-nya dialog dan aktingnya.
Durasi 103 menit film ini terasa aneh, karena pacing-nya yang entah bagaimana lambat dan membosankan, namun memaksa untuk memuat plot utama yang begitu panjang dalam jangka waktu bertahun-tahun. Memang penataan adegannya cukup rapi dan terlihat berpengalaman, namun itu tidak menolong pengemasannya itu sendiri.
Kembali ke dialog dan akting, sepertinya para pemainnya hampir sama sekali tidak mencoba improvisasi, atau setidaknya memerankan karakter mereka dengan tulus. Banyak contoh dialog-dialog di film ini yang seolah hanya kalimat-kalimat yang dibaca atau dihafal dari skrip. Masuk akal jika dialog-dialog di skrip itu sendiri terasa klise dan superfisial, membuat para aktor sendiri merasa bergidik mengucapkannya dengan tulus. Contoh kecilnya, “Maaf aku nggak pernah boncengin cewek” yang juga masuk ke trailer-nya. Apalagi tambahan musik latar belakangnya yang mengganggu.
Bisa disimpulkan bahwa cerita dan plot dalam cerita ini adalah serangkaian keputusan buruk yang dibuat oleh karakternya. Tokoh utamanya sungguh bukan tipe tokoh yang akan didukung atau mendapat simpati penonton berkat keputusan-keputusan bodoh yang ia lakukan sepanjang film. Hampir seluruh konflik dari cerita ini diciptakan oleh tokoh utama itu sendiri. Satu-satunya keputusan memuaskan yang dibuat penulis cerita dan tokoh-tokoh utama dalam cerita adalah ending dari kisah cinta segitiga di cerita ini.
Terlepas dari semua kekurangannya, hanya ending dari film ini yang cukup menawarkan sedikit kepuasan dalam keseluruhan ceritanya. Karena apabila dilanjutkan, justru hubungan ketiga tokoh utama akan menjadi semakin toxic. Dan memang, pesan-pesan didalamnya juga cukup menarik, menunjukkan kehidupan seorang ‘anak kolong’ (sebutan bagi anak-anak kompleks barak militer).
Film ini bisa dibandingkan dengan Sang Pengadil yang rilis dua minggu lalu, dengan kedua karakter utama memiliki ayah dengan profesi yang sama dengan aspirasi mereka di masa depan, meski keduanya sama-sama film yang gagal dalam mengemas dengan baik cerita mereka. Bisa dikatakan mirip karena Sang Pengadil mengangkat cerita bertema dekat dengan Mahkamah Agung sementara Anak Kolong bertema dekat dengan TNI, dan unsur pesan sponsornya begitu terpampang nyata.
Bravo untuk Anak Kolong yang berhasil membuat film yang ‘it’s so bad it’s good’, sarcastically.