Kisah Angel yang telah kehilangan sang kakak dalam My Idiot Brother (2014) berlanjut melalui sekuelnya, Angel: Kami Semua Punya Mimpi. Kecuali Donny Kusuma, para pemeran untuk tokoh-tokohnya mengalami penggantian dan penambahan. Ada Beby Tsabina dan Merry Riana, serta para pemain untuk tokoh-tokoh baru yaitu Ari Irham, Fico Fachriza, Dani Aditya, hingga Via Vallen. Sutradara dan penulisnya pun berganti, yakni Baskoro Adi Wuryanto dan Ivan Hamdhani Putera. Ivan pula yang mengarahkan Angel, sekaligus menjadi debutnya sebagai sutradara dan penulis. Namun, film produksi Fast Films ini masih diinspirasi oleh kisah dari Agnes Davonar dengan My Idiot Brother-nya. Adi Wuryanto adalah salah satu penulis Angel, tetapi rekam jejak kepenulisan naskahnya belum pernah sekalipun menunjukkan performa yang benar-benar memuaskan atau mengagumkan sejak 2012. Lantas, bagaimana nasib film ini?
Kehidupan Angel (Beby) bak tersisa hitam dan putih belaka usai kakaknya meninggal. Setiap hari murung berlarut-larut dalam kesedihan dan rasa bersalah karena terlambat menyadari perhatian dan kasih sayang kakaknya. Namun, Angel tetap harus melangkah maju bagaimanapun juga. Orang-orang di rumahnya, termasuk sang ayah (Donny) menyarankannya untuk merasakan lingkungan yang baru di luar kota sekaligus berkuliah. Sampai kemudian Angel bertemu Andro (Fico) yang amat mirip dengan kakaknya di Cahaya Harapan, tempat pendidikan tambahan untuk para difabel.
Angel: Kami Semua Punya Mimpi memberikan penekanan emosi yang amat kuat lewat momen-momen dramatisnya. Ya, benar. Itu sangat berhasil. Namun, itu pula yang menjadi salah satu dari sedikitnya nilai lebih dari film ini. Pernahkah dengar pernyataan tentang, “Film yang bisa bikin gampang mewek (menangis) belum tentu film yang bagus.” Sayangnya, baik penulis maupun sutradara Angel tak peduli soal itu. Selama cerita yang mereka garap dengan inspirasi dari suatu kisah sedih berhasil menciptakan suasana yang mengharu-biru, maka teknis filmis lain dikesampingkan. Itulah jeroan film ini dengan dapur kreatif yang sekenanya.
Angel: Kami Semua Punya Mimpi memang tidak sedemikian jatuh dan tersungkur. Beberapa hal kecil berhasil menyelamatkannya untuk tidak mengalami luka yang terlalu parah. Serangkaian montage panjang yang menjadi segmen pembuka pun dapat menunjukkan dan mengingatkan dengan baik, latar belakang masalah batin sang tokoh utama pascakakaknya meninggal. Motif keseluruhan cerita film ini untuk kemudian mendarat di Yogyakarta, tanpa para penonton perlu menyaksikan film pertamanya terlebih dulu untuk bisa mengikuti sekuelnya ini.
Olah peran Beby Tsabina juga lagi-lagi mencuri hati kita lewat permainan dramanya. Sepanjang tak ada kesalahan pada naskah, dia mampu menyampaikan emosi yang dimaksud dalam cerita ke penonton. Beberapa kali dia bisa melakukannya melalui perannya sebagai Gita dalam Rentang Kisah (2020), Karin dalam Scandal Makers (2023), hingga Cherish dalam Cherish & Ruelle (2023). Bahkan tak jarang mengungguli para pemeran lainnya. Kedua dalam Angel adalah Brilliana Desy (Ziarah/2016, Tilik The Series/2023). Sang ibu kolot nan egois yang seketika tersadar setelah putranya meninggal. Baru yang ketiga Ari Irham. Kekuatan aktingnya memang masih belum konsisten sejak awal kemunculannya enam tahun lalu. Fluktuatif. Sesekali meningkat, lalu turun lagi. Di samping mereka bertiga, para murid Cahaya Harapan, khususnya trio Andro, Dani, dan Tere tampaknya sudah berusaha maksimal. Walau masih terasa dibuat-buat. Sukar sekali mengamini dan tanpa keterpaksaan menganggap, “Baik, mereka semua adalah tokoh-tokoh difabel dalam cerita.”
Selain poin-poin ini, keseluruhan film mengandung beragam kelemahan. Apa motif perubahan warna visual yang mengikuti perpindahan tempat sang tokoh utama ke Yogyakarta? Apakah Yogyakarta memang berwarna kuning-kuning sore seperti itu? Pemilihan gedung bertingkat sebagai lokasi Cahaya Harapan juga tidak didasari oleh alasan-alasan yang kuat. Bila memang hanya untuk tempat pendidikan tambahan kepada anak-anak difabel, apakah memang perlu menempati gedung bertingkat yang sedemikian tinggi? Toh tak membutuhkan terlalu banyak ruangan. Jika kita lihat kegiatan-kegiatan yang ditunjukkan di sepanjang film. Namun sebelum semua itu, di mana pula ibu Angel?
Proses bagi Angel untuk kemudian secara resmi menjadi sukarelawan di Cahaya Harapan juga tak mulus (secara teknis naskah). Setelah ospek, Angel yang sebelumnya jalan-jalan dengan eyangnya di sebuah lokasi wisata tiba-tiba sampai di depan Cahaya Harapan, dan secara kebetulan bertemu Miko yang secara kebetulan tengah membagi-bagikan pamflet Cahaya Harapan. Sang nenek pun tampak baru pertama kali tahu soal Cahaya Harapan, padahal dia kenal betul salah seorang murid di sana dan ibunya. Perkembangan cerita juga sekali lagi terasa dipaksakan lewat plot sakit parah yang tiba-tiba dialami kembali oleh Andro.
Angel: Kami Semua Punya Mimpi memang membawakan emosi yang amat kuat, tetapi penulisan keseluruhan naskahnya tak mulus dan rapi. Banyak motif yang lemah, transisi yang serba tiba-tiba untuk memasuki segmen berikutnya, hingga alurnya pun mudah diantisipasi. Tanpa bermaksud mendiskreditkan Adi Wuryanto, lagi-lagi dia belum mampu memperbaiki rekam jejaknya sebagai penulis skenario. Kita boleh jadi bakal memaklumi bila ia adalah pendatang baru. Namun, karirnya telah berjalan sejak lebih dari satu dekade lalu dan masih belum ada kemajuan yang berarti. Di sisi lain, Ivan Hamdhani masih punya kesempatan yang panjang untuk banyak-banyak belajar. Satu-satunya yang berperan besar menolong film ini adalah olah peran Beby Tsabina. Sekuel ini pun tak lebih bergejolak ketimbang film pertamanya.