Sutradara dan produser kawakan asal Perancis, Luc Besson sudah lama kita kenal, sejak La Femme Nikita, Leon, hingga Lucy. Besson yang sering kali menampilkan sosok perempuan tangguh kini kembali melalui film arahan terbarunya, Anna, yang naskahnya juga ditulis sang sineas sendiri. Anna menampilkan aktris muda dan model asal Rusia, Sasha Luss, serta didukung aktor-aktris senior, macam Helen Mirren, Luke Evans, dan Cillian Murphy. Setelah gagal komersial dengan Valerian and the City (bujet > US$ 200 juta) dua tahun lalu, Anna (bujet US$ 30 juta) menandai kembalinya Besson dalam performa terbaiknya.
Alkisah, Anna adalah seorang agen pembunuh top KGB yang direkrut karena potensi otak dan fisiknya. Berkedok profesi sebagai bintang model di Kota Paris, Anna sukses menyelesaikan semua misi yang diberikan atasannya. Setelah sekian lama lelah dengan aksinya, ia lantas menuntut KGB atas satu hal, seperti apa yang dijanjikan mereka sebelumnya, yakni kebebasan. Tuntutan Anna ternyata jauh dari harapan, dan ia kini justru terjebak dalam situasi sulit yang melibatkan CIA.
Apa yang membuat film ini berbeda dengan film-film Besson dan genrenya (spionase) adalah kemasan cara bertuturnya. Ini sungguh mengejutkan. Besson sebelumnya tak pernah menggunakan struktur plot nonlinier secara intensif sepanjang filmnya. Penggunaan formula ini menyebabkan filmnya menjadi penuh kejutan dan sulit ditebak ke mana arah kisahnya. Alur kisahnya bergerak maju-mundur secara intensif sejak awal hingga menit-menit akhir. Berapa tahun sebelumnya, beberapa bulan, atau bahkan minggu sebelumnya. Bolak-balik, bolak-balik, demikian hingga akhir film. Sang sineas seolah mempermainkan kita dengan plotnya yang rumit, namun hebatnya, kisahnya masih nyaman untuk diikuti.
Kemasan penceritaan yang unik, juga didukung kisahnya sendiri yang terhitung segar untuk genrenya. Kisah agen perempuan dalam medium ini sudah terlampau banyak, dan kisah Anna sendiri juga tidak bisa dianggap baru 100% karena hanya merupakan kombinasi dari banyak di antaranya. Satu film yang banyak mengingatkan adalah Atomic Blonde dan Red Sparrow, di mana kita selalu dibuat bertanya ke mana sang agen sebenarnya berpihak. Sementara Anna, ia hanya menginginkan kebebasan. Plot Anna bagai permainan catur yang gerakannya seolah mudah diprediksi, namun mendadak, Checkmate!
Kisah dan penceritaan yang unik, didukung pula permainan menawan dari para kastingnya. Satu yang mencolok jelas penampilan sang bintang muda, Sasha Luss. Sang bintang membius kita dengan penampilan dan matanya yang tajam dan penuh misteri. Dari matanya pula, tanpa harus berdialog, tampak kelelahan luar biasa dari sosok karakternya. Sementara bicara sajian aksinya, sangat jauh dari kata buruk. Walau aksi memang tidak dominan dan ini juga bukan pertama kita melihat aksi Gun-Fu ala John Wick, namun dua momen aksi perkelahiannya yang berkejaran dengan waktu mampu memberikan sisi ketegangan yang berbeda dengan aksi-aksi sejenis dalam film lainnya.
Anna, penuh dengan kejutan melalui naskah brilian dengan gaya bertuturnya yang tak lazim untuk genrenya serta dukungan kuat para pemainnya, khususnya Sasha Luss. Siapa sangka, film ini bisa begitu baik dalam banyak aspeknya. Kekuatan film ini murni adalah kemasan cara bertuturnya yang didukung pula kisah dan aksi yang mengesankan. Namun, keunikan ini bisa saja berbalik menjadi titik lemah karena lazimnya formula plot macam ini tak banyak disukai penonton yang berorientasi pada hiburan aksi ringan. Satu kelemahan mencolok adalah isu filmnya (perang dingin) yang tak banyak beresonansi dengan isu masa kini. Anna juga menegaskan tren tema perempuan dalam medium film yang semakin memanas sejak beberapa tahun terakhir. Untuk pemuja genre spionase dan penikmat film aksi, dijamin film ini tidak akan mengecewakan.