Armageddon Time adalah drama semi-biografi arahan Michael Gray yang kita kenal melalui The Lost City of Z dan Ad AStra. Film ini dibintangi sejumlah nama-nama besar, sebut saja Anne Hathaway, Jeremy Strong, Anthony Hopskins, Jessica Chastain, serta bintang remaja Banks Repeta dan Jaylin Web. Uniknya, film ini berkisah mirip dengan The Fabelmans arahan Steven Sipelberg yang sama-sama diinspirasi dari kisah hidup sang sutradara sendiri.

Kisahnya berlatar di Kota New York pada tahun 1980. Paul Graff (Repeta) adalah bocah SD yang suka menggambar dan berasal dari keluarga Yahudi. Ia berteman dengan seorang bocah kulit hitam bernama Johnny (Web). Keduanya suka mengolok guru mereka di dalam kelas. Sementara di rumah, sang ayah (Strong) dan ibunya (Hathaway) terhitung keras mendidik dua putera mereka dan kurang menghargai bakat Paul. Sementara sang kakek (Hopskins) justru sebaliknya, dekat dan selalu mendukung Paul. Kisahnya bertutur tentang bagaimana Paul berkompromi dengan tekanan dan harapan dari orang tuanya, serta isu ras dan ketidakadilan dalam lingkungan sosialnya.

Film dengan kisah personal ini mencoba menekel dua masalah sosial besar, baik internal keluarga serta lingkungan sosial. Perspektif kita adalah seorang bocah SD yang melihat dunia dengan begitu naif. Tekanan keluarga dan gurunya di sekolah membuatnya meronta ingin bebas tanpa menyadari konsekuensi. Konflik ini yang ditekankan plotnya, dan ini pula membuatnya mudah untuk mengantipasi kisahnya. Harapan sebuah closing dengan twist besar akhirnya berujung pada satu petuah, “hidup itu sulit dan kita harus terus berusaha”. Tipikal sekali.

Sederetan penampilan kastingnya yang justru membuat kisahnya lebih hidup. Hathaway, Strong, dan Hopskins tidak ada satu pun orang yang meragukan. Namun adalah penampilan bintang cilik Banks Repeta yang luar biasa. Repeta menyajikan akting prima dalam peran yang tergolong sulit. Pula, chemistri-nya dengan sobatnya yang diperankan Jaylin Web. Keduanya bermain sangat luar biasa jika berdialog dalam adegannya. Akting Repeta, bagi saya, lebih dari cukup untuk diganjar nominasi aktor terbaik dalam ajang Academy Awards tahun depan, dengan catatan mengesampingkan pencapaian naskahnya. Jelas sulit untuk bersaing dengan The Fabelmans yang lebih filmis dan memiliki dimensi konflik yang lebih dalam.

Baca Juga  The King's Man

Dipenuhi sederetan nama besar, Armageddon Time tidak mampu menyajikan solusi yang menggugah, terlebih berdekatan rilis dengan film bertema sama, The Fabelsman yang jauh lebih superior. Bukan perkara cerita yang tidak memiliki isu dan konteks sosial masanya, namun adalah solusinya. Menonton film ini mengingatkan pada 400th Blow karya François Truffaut. Kisah personal semacam ini telah banyak disajikan dalam medium film. Realita bahwa hidup itu susah (serasa kiamat) pasti dirasakan semua individu, namun apa yang membedakan masalah satu dengan yang lainnya hingga mampu menginspirasi banyak orang. Ini menjadi satu poin pembeda.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
75 %
Artikel SebelumnyaTriangle of Sadness
Artikel BerikutnyaQala
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.