Asih merupakan film spin-off besutan sutradara Awi Suryadi yang merupakan bagian dari Danur Universe, yang kisahnya terjadi 37 tahun sebelum peristiwa di film Danur: I Can See Ghost (2017). Film yang diadaptasi dari novel best-seller berjudul sama ini, kembali ditulis juga oleh novelis horor Risa Saraswati. Melihat tren-nya, film ini sepertinya juga akan sukses komersial, mengekor film-film sebelumnya yang mampu mencapai 2,5 juta penonton. Terbukti, pada premier-nya saja telah meraih 191.887 penonton.
Film ini sendiri bercerita tentang seorang keluarga muda yang tinggal di sebuah desa di tanah Sunda. Ita (Citra Kirana) dan suaminya (Darius Sinathrya) menempati sebuah rumah kuno bersama ibunya. Dikisahkan Ita sedang hamil tua dan sedang mempersiapkan untuk kelahiran anak pertamanya. Tak terduga, kelahirannya maju satu bulan dari jadwal yang ditentukan. Semenjak kelahiran bayinya, keluarga tersebut diganggu dengan beberapa kejadian aneh, dan belakangan diketahui bahwa yang meneror mereka adalah seorang hantu wanita yang bernama Asih, yang konon tewas secara tak wajar.
Menonton film ini terasa amat melelahkan dan monoton karena dibandingkan dengan dua film sebelumnya, Asih hanya melakukan pengulangan plot maupun teknik pengemasan horornya. Tak ada sama sekali yang baru dari cerita filmnya dan terasa datar karena plotnya sama sekali tak memiliki pengembangan cerita yang kompleks. Persoalan lain adalah kurangnya latar cerita dan penokohan. Film ini ingin mengambarkan siapa Asih sebenarnya, namun latar belakang penokohannya terlihat lemah sehingga penonton kurang bisa masuk ke dalam sosok Asih. Teknik flashback yang dipakai sang sineas masih terlalu minim menjelaskan background-nya.
Lemahnya penokohan menjadikan kisah filmnya tak memiliki motif yang kuat. Beberapa pertanyaan muncul. Mengapa Asih meneror keluarga Ita dan menginginkan sang bayi? Aneh rasanya, Asih yang membunuh bayinya sendiri dan bunuh diri, lalu sekarang menginginkan bayi orang lain. Mengapa tidak balas dendam ke warga kampung yang telah mengusirnya? Ini jelas lebih masuk akal dan akan memberikan motif cerita yang kuat.
Lemahnya motif cerita disebabkan pula ketidakjelasan dimensi jarak. Melalui sebuah dialog, diceritakan bahwa ada seseorang wanita yang bunuh diri di “kampung sebelah”, tepatnya di pohon besar yang terlihat angker (lokasi cerita rumah dalam film pertama). Jarak antara kampung sebelah dengan pohon angker dan rumah keluarga Ita tak jelas sehingga sedikit memengaruhi motif cerita. Di film pertama, terlihat jelas rumah Risa dekat dengan pohon besar tersebut sehingga motifnya kuat. Lalu mengapa keluarga Ita yang dipilih untuk diteror? Kisah kematian Asih yang sangat tak wajar ini, sebenarnya bisa dibingkai menjadi sebuah plot dengan suasana mencekam di lokasi tersebut yang membuat desa dan sekitarnya geger.
Dari sisi teknis, sang sineas tampak sudah fasih untuk mengemas Asih dengan gaya film era 1980-an yang menekankan sisi setting, properti, pencahayaan dan grading yang terkesan kelam. Pengambilan gambarnya pun terlihat sudah sangat mapan. Namun, ada kejanggalan pula, rumah yang menjadi fokus cerita memiliki dua lantai, namun anehnya tak pernah mengeksplor dan menunjukkan adegan di lantai atas. Secara umum, lagi-lagi persoalan cerita yang tak digagas dengan baik menjadi masalah. Jika dibandingkan dengan dua film sebelumnya, Asih yang paling lemah dari sisi ceritanya.
WATCH TRAILER