Film ini bercerita tentang tiga tokoh utama yaitu Ronaldo (Petrus Beyleto), Joao (Gudino Soares), dan Naiki (Putri Moruk). Mereka adalah warga Atambua, sebuah wilayah yang tepatnya berada di perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste. Ronaldo dan Joao eksodus ke Indonesia ketika masa referendum tahun 1999 silam. Joao selalu ingin bersama ibu dan saudari-saudarinya yang memilih tinggal di Timor namun sang ayah bersikeras tinggal di Atambua ketimbang hidup di negari asalnya. Ia bersikukuh untuk tetap tinggal di NKRI bersama Joao. Sementara Nikia datang ke Atambua karena kakeknya meninggal. Joao dan Nikia berteman, dan seiring berjalannya waktu mereka saling suka satu sama lain. Ronaldo adalah ayah dari Joao yang bekerja sebagai sopir truk. Ia sering mabuk-mabukan tiap malam hingga dipecat dari pekerjaannya. Tak lama berselang ia terlibat perkelahian yang menyebabkan ia masuk penjara.
Riri Reza yang kita kenal menggarap seri Laskar Pelangi, film bertemakan anak-anak yang riang dan ceria kali ini ia mencoba berbeda untuk memproduksi film drama bertempo lambat serta kental nuansa politik. Film ini banyak mengingatkan pada gaya film-film karya Garin Nugroho yang cenderung lambat dan selalu menyinggung masalah sosial dan politik. Sebenarnya tema filmnya cukup menarik namun sayangnya kurang digali lebih dalam. Tak ada konflik yang berarti dan sepanjang film hanya mengambarkan keseharian ketiga tokoh. Kunci perubahan kisahnya ada di akhir cerita namun terasa mengganjal. Di awal film kita ditunjukkan bagaimana sikap Ronaldo yang suka mabuk-mabukan dan tidak peduli pada keluarganya. Setelah kasusnya yang menyebabkan ia dipenjara, akhirnya ia pulang ke rumah, dan ia terjatuh hanya karena ingin mengambil sebuah baterai di atap rumah. Sikapnya setelah ini berubah dan mendadak memutuskan untuk mengajak Joao kembali ke tanah kelahirannya di Timor. Entah apa yang membuat ia tersadar, sama sekali tak jelas. Kisah Joao dan Nikia menguak sisi traumatis mereka terhadap jajak pendapat yang berakibat petaka bagi keluarga mereka namun ini pun hanya sekilas saja dan tak digali lebih dalam.
Kali ini Riri ingin berbicara tentang fenomena sosial dan politik yang terjadi di Atambua dimana kondisi ekonomi warganya jauh dari makmur. Jika kita hubungkan dengan judulnya Atambua 39º Celcius, tidak hanya bermakna suhu di wilayah tersebut yang memang sangat panas namun juga suasana politik yang masih memanas pasca referendum walaupun sudah berlalu bertahun-tahun silam. Film ini menggambarkan bahwa ada warga Timor yang memilih untuk di tanah air ketimbang berada di negeri orang. Namun pada ending filmnya, Ronaldo memilih untuk kembali ke tanah kelahiranya dan mengingkari janjinya terhadap budaya orang Timor. Ia sadar tak ada negara atau wilayah yang akan memisahkan ia dari tanah kelahiran dan keluarganya.
Tak ada yang istimewa dari sisi aspek setting maupun sinematografi. Film ini juga tak banyak menggunakan dialog namun salah satu keunggulannya adalah menggunakan bahasa asli lokal. Entah apa motif yang membuat sineas seperti Riri Reza mencoba untuk membuat film seperti ini, berbeda gaya dengan film-film garapan sebelumnya namun kita patut memberi apresiasi tinggi karena tak banyak film-film yang berani mengangkat tema seperti ini. Ajang festival khususnya internasional rasanya menjadi sasaran utamanya ketimbang sisi komersial.