Terdapat puluhan film “AI vs. manusia” diproduksi sejak lima dekade lalu, di antaranya yang berstatus masterpiece, sebut saja 2001: Space Oddysey, The Terminator, hingga The Matrix. Atlas merupakan film sci-fi rilisan Netflix yang diarahkan oleh Brad Peyton. Film ini dibintangi oleh Jennifer Lopes, Simu Liu, Sterling K. Brown, dan Mark Strong. J-Lo rupanya belum kapok bermain sebagai perempuan tangguh setelah The Mother yang gagal secara kritik, namun sukses bersama Netflix sebagai salah satu film terlarisnya. Akankah kali ini film sang bintang lebih baik secara kritik?
Atlas (Lopez) adalah seorang analis AI yang mengikuti perkembangan kasus seorang teroris robot bernama Harlan (Liu) yang meninggalkan bumi 28 tahun lalu. Harlan adalah seorang robot pemberontak yang diciptakan oleh ibu Atlas sehingga sang putri meninggalkan trauma membekas. Suatu ketika, seorang robot utusan Harlan datang ke bumi dan pihak berwenang pun berhasil menangkapnya. Melalui bantuan Atlas akhirnya mereka menemukan lokasi planet di mana Harlan berada. Satu tim pun dikirim ke sana untuk melumpuhkan Harlan, berbekal setelan robot tempur baru yang dikendalikan manusia. Atlas pun dikirim bersama tim untuk mendampingi mereka, namun setibanya di sana pasukannya diserang habis-habisan oleh pasukan musuh, hingga hanya menyisakan Atlas seorang.
Kisah Ai pemberontak seperti telah disinggung di atas bukan lagi satu hal yang baru. Atlas hanyalah plot kombinasi dari beberapa film sejenis yang lebih superior. Bedanya kini, hanyalah terdapat robot berbentuk suite yang mampu berinteraksi melalui pikiran pengemudinya. Konsepnya mirip robot dalam Pacific Rim, hanya saja ukurannya tak jauh dari manusia. Kisahnya sederhana dan berjalan dalam satu momen, di mana mereka harus bertahan hidup dari kejaran robot musuh. Kekuatan film ini justru bukan pada aksi-aksinya yang terlihat artifisial, namun relasi antara sang robot dengan Atlas. Terdapat beberapa momen yang menyentuh melalui sisi humanis sang robot berhadapan dengan sosok Atlas yang antisosial dan anti AI. Ending-nya pun tercatat cukup emosional, namun sekali lagi, jangan berharap banyak dengan segmen aksi-aksinya.
Atlas memiliki kisah tipikal “man vs. machine” yang tak lagi segar, hanya sedikit tertolong antara chemistry sang robot (AI) dengan tokoh protagonisnya. Untuk sang bintang, ini adalah sedikit peningkatan dari The Mother, namun jelas tidak cukup untuk mengangkat pamornya sebagai sosok perempuan tangguh. Untuk genrenya, Atlas jelas hanya lewat begitu saja tanpa ada sesuatu yang membekas. Bicara AI yang menggantikan peran manusia, kini menjadi isu besar dalam sejarah perkembangan manusia. Film-film besar yang disebut di atas menjadi semacam ramalan bahwa tinggal menanti waktu, semua pekerjaan manusia bisa tergantikan AI.