Makbul Mubarak baru saja melakukan debut film panjangnya sebagai sutradara melalui Autobiography dengan diproduseri oleh Yulina Eva Bahara (Istirahatlah Kata-Kata). Ada banyak perusahaan yang menaungi produksi dan distribusi film ini, antara lain Kawan Kawan Media dengan ko-produksi Cinéma du Monde (Perancis), World Cinema Fund (Jerman), Nouvelle Aquitange Regional Fund (Perancis), Purin Pictures (Thailand), Tokyo Talents NEXT Master (Jepang), Polish Film Institute (Polandia), dan Asean Co-Production Grant – ACOF (Filipina).
Autobiography juga merupakan film tribute untuk mengenang aktor senior Indonesia Mas Cindil (almarhum Gunawan Maryanto). Di mana Autobiography menjadi film terakhir yang beliau perankan sebelum wafat.
Cerita film ini dimotori oleh dua tokoh sentral, seorang pemuda bernama Rakib (Kevin Ardilova) yang bekerja di sebuah rumah kosong seorang pensiunan Jendral, yakni Purnawinata (Arswendy Bening Swara). Purna pulang dan berniat untuk mencalonkan diri sebagai bupati di desanya. Rakib yang selalu menemani Purna saat berkampanye kian hari mengagumi figur Purna sebagai sosok Ayah. Hingga suatu kejadian di luar dugaan, Rakib menyaksikan realita kelam yang mengubah dirinya serta hubungannya dengan Purna.
Baru melihat opening film saja, penonton pasti sudah punya gambaran kalau Autobiography tak akan jadi film yang tersampaikan dengan cara biasa. Mengingat ini adalah film kerja sama Indonesia dengan beberapa negara. Sekaligus jadi film Indonesia pertama yang tampil di Venice International Film Festival ke-79 dalam seksi Horizon tahun 2022 lalu.
Mengusung tema drama thriller, Autobiography bisa dibilang punya tawaran kisah mencekam dengan sajian sinematik dan naratif yang begitu baik. Selama menonton film ini, sebuah pengalaman berbeda begitu gamblang dirasakan.
“Siapa bilang saya minum kopi?”
Baru saja film dimulai dengan pengambilan gambar yang tidak biasa –juga antik, peran Arswendi sukses menghadirkan impresi kuat bagi penonton. Bahwa ia, bukan tokoh sembarangan dalam Autobiography.
Bukan tanpa alasan film ini begitu marak dibicarakan oleh kalangan pencinta film. Autobiography merupakan hasil godokan beberapa script lab ternama di dunia sejak 2017, yaitu TorinoFilmLab, Berlinale Co-Production Market, Locarno Open Doors, SEAFIC Lab, serta FDCP Project Market.
Tak heran, alur cerita yang ditawarkan begitu eksentrik membicarakan warisan masa lalu, serta figur ayah dengan nuansa yang mencekam. Setelah selesai menonton film ini, barangkali kita seperti merasa selesai pula menyusun keping demi keping puzzle dari tiap adegan yang tampil di layar. Meskipun membahas beberapa isu yang sama sekali berbeda, film ini mampu menjahit kesinambungan menjadi selaras dan dapat dipercaya. Baik melalui penanaman informasi sejak awal cerita lewat properti, maupun dialog yang menjadikan setiap adegan memiliki kekuatannya tersendiri.
Bicara soal karakter, kedua aktor yang sama-sama tengah naik daun ini menunjukkan kelasnya lewat akting yang prima. Tak diragukan lagi bahwa peran yang dibawakan Arswendy Bening Swara dalam Autobiography memiliki kedalaman yang baik. Sosoknya yang ditakuti, manipulatif, sekaligus punya pengaruh diperankan dengan begitu piawai oleh aktor senior yang belakangan membintangi tokoh Pak Domu lewat Ngeri-Ngeri Sedap dan Darga dalam film Nana. Kevin yang harus melakoni karakter Rakib yang serba mengambang, dapat membuat penonton benar-benar ikut merasakan emosionalnya kala ia kagum, tegang, maupun belagu saat mengenakan pakaian Jenderal layaknya Purna.
Soal sinematografi, film ini punya karakter warna mentereng hijau dan merah yang begitu dominan digunakan sepanjang film. Dengan angle-angle gambar yang tak biasa, juga didukung dengan blocking dan staging dari segi penyutradaraan yang apik membuat framing dalam setiap gambar dalam film ini amat ‘berbicara’. Pun adanya buah tangan dari sang penata kamera dengan background dokumenter Wojciech Staroń asal Polandia, sehingga sentuhan dalam Autobiography bisa dengan magis dirasakan meski gambar-gambar yang disajikan cenderung observasional.
Porsi berkelas juga disajikan dari segi penyuntingan gambar oleh Carlo Fransisco Manatad asal Filipina yang merangkai gambar demi gambar, sehingga dapat menimbulkan kesan menegangkan. Dengan diperkaya aspek suara dari penata suara Bani Haykal, atmosfer ruang sekitar juga kian memadatkan efek mencengkam dari setiap adegan yang disuguhkan.
Sukses menjadi film debut yang otentik dari Makbul, Autobiography punya kedalaman cerita yang mengagumkan dan kekayaan sinematik yang eksentrik. Sebuah pencapaian yang baik untuk perfilman Indonesia. Meskipun, dengan seredet pencapaian cerita dan teknis tersebut, Autobiography –sebagaimana film-film bernuansa festival kebanyakan yang datang dari Indonesia—agak sukar dinikmati dengan santai oleh penonton awam. Tempo pada beberapa bagiannya cenderung melambat dan sepi, dengan cara-cara penyampaian yang berat. Jadi bila tidak siap secara fisik dan mental, menonton Autobiography dapat menyebabkan kantuk. Apalagi, KawanKawan Film jugalah yang dulu memproduksi Istirahatlah Kata-Kata. Kendati korelasi spesifik antara definisi dari istilah “autobiografi” dan keseluruhan cerita Autobiography rasanya masih belum benar-benar terjawab.