Wacth our video review in english below.

     Penantian telah berakhir. He’s here! Thanos, konon adalah sosok terkuat dalam alam semesta dan ia mengincar semua batu keabadian (infinity stones). Kita tahu, semua superhero dalam seri Marvel Cinematic Universe akan berhadapan dengannya. Para pecinta sejati MCU akan mengenali satu persatu tokoh jagoan ini dari hati mereka. Siapa yang tak mau menonton semua superhero ini dalam satu film? Dari sisi ini saja, film ini adalah sebuah pencapaian yang amat luar biasa dengan penantian panjang selama 10 tahun, baik dari sisi industri maupun sinematik. Russo Bersaudara yang sukses dengan Captain America: Civil War kembali dipercaya menggarap Avengers: Infinity War dengan menggunakan formula yang sama sekali berbeda dengan film-film MCU sebelumnya. Tentu saja dengan sentuhan tangan sang jenius yang juga produsernya, Kevin Feige.

    Film berjalan dengan tempo relatif cepat sejak awal hingga akhir. Durasi nyaris tiga jam seolah berjalan cepat tanpa jeda. Puluhan karakter yang demikian banyak dibagi dalam beberapa segmen cerita besar yang membagi rata masing-masing peran superhero. Nyaris tak ada sosok superhero yang dominan. Penulis naskah bekerja sangat baik dan efektif untuk bisa mencapai ini semua. Tokoh utama kita sekarang adalah sang antagonis, Thanos. Thanos dan infinity stones adalah semua penyebab kausalitas cerita bisa berjalan karena semua mata tertuju pada dirinya. Thanos punya segala karisma untuk menjadi sosok yang paling ditakuti dalam MCU. Dia bukan sosok robot Ultron yang dingin, namun ternyata ia juga punya perasaan. Dari sisi cerita ia memang sempurna, namun dari sisi pencapaian visual masih terasa sedikit unsur rekayasa digital dalam tampilan sosoknya.

Baca Juga  Life

    Film ini entah mengapa banyak mengingatkan pada Empire Strikes Back (seri Star Wars). Aksi tanpa henti dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Inti kisahnya hanya pencarian dan perebutan infinity stones. Hanya ini. Penonton yang tak mengerti benar film-film MCU sebelumnya bisa jadi bakal kesulitan mencerna detil filmnya. Lalu apa Thanos mendapatkan semua batu keabadian? Simak saja sendiri.

     Apa yang hebat dalam film ini bukan aksi atau segmen pertarungannya. Kita semua sudah tahu bagaimana jagoan kita bertarung dari semua film mereka sebelumnya. Tak perlu saya sebutkan satu persatu. Para superhero ini sudah mengalami pertarungan terbaik mereka dengan musuh-musuhnya. Beberapa di antaranya adalah aksi-aksi terbaik dalam genrenya. Kita sudah melihat sesuatu yang lebih baik dari semua adegan aksi yang ada di film ini. Apa yang istimewa dalam Infinity Wars bukan aksinya, namun adalah kisahnya. Pencapaian terbaik dalam Empire Strikes Back adalah kejutan atau twist kisahnya. Infinity War pun kurang lebih sama. Apa yang dilakukan film ini, belum pernah dilakukan film mana pun dalam genrenya. Sebuah keberanian besar bukan hanya dari sisi cerita namun juga dalam konteks industri (sisi komersial).

     Avengers: Infinity War ibarat Empire Strikes Back dalam Marvel Cinematic Universe. Kisah memang belum berakhir, namun film ini memiliki potensi menjadi film superhero terbaik sepanjang masa (a masterpiece) dengan segala resiko yang berani diambil oleh sang produser. Jika ada seseorang yang memiliki enam infinity stones dengan kuasa begitu penuh, bukanlah Thanos atau siapa pun, namun adalah sang kreator MCU dan produser jenius, Kevin Feige.

WATCH OUR REVIEW

PENILAIAN KAMI
Overall
100 %
Artikel SebelumnyaGringo
Artikel BerikutnyaF. Gary Gray garap live-action M.A.S.K
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.