Batman (1966–1968)
25 min|Action, Crime, Fantasy|12 Jan 1966
7.5Rating: 7.5 / 10 from 27,006 usersMetascore: N/A
Follows the adventures of wealthy entrepreneur Bruce Wayne, also known as the Caped Crusade Batman and his young ward Dick Grayson also known as Batman's sidekick Robin the boy wonder as they battle evildoers in Gotham City.

Dinamic duo, Batman dan Robin harus menghadapi satu komplotan misterius bernama The United Underworld. Belakangan diketahui kelompok tersebut beranggotakan para penjahat kelas kakap kota Gotham, yakni The Penguin, The Joker, The Penguin, dan Catwoman. Mereka berencana melenyapkan Batman dan Robin yang selama ini menjadi momok bagi mereka sekaligus menguasai dunia. Untuk menjebak Batman, mereka berencana menculik bilyuner kota Gotham, Bruce Wayne, dengan mengirim Cat Woman yang menyamar sebagai wanita Rusia bernama Kitka. Bruce yang terpesona dengan kecantikan Kitka, jatuh hati, dan dengan mudah masuk perangkap Kitka. Para penjahat tak mengerti jika Bruce adalah Batman, dan Bruce akhirnya bisa melarikan diri setelah memperdaya mereka.

Film ini adalah versi panjang dari seri televisinya sehingga harus menampilkan segalanya lebih besar dari biasanya. Musuh-musuh utama Batman dikumpulkan menjadi satu, dengan tujuan dan ambisi jahat yang lebih besar. Plotnya sendiri cukup rumit untuk ukuran anak-anak dan berkembang setiap kali sehingga sulit ditebak. Walau semua orang tahu jika Batman dan Robin akhirnya menang namun ending-nya pun tetap mengambang dengan tulisan “The Living End..?”. Walau bisa dikatakan genrenya komedi namun kisah filmnya sendiri serius, para karakter tidak berusaha melucu namun aksi dan gaya mereka yang membuat kita tertawa. Contohnya ketika Batman berusaha menyingkirkan bom yang akan meledak, sang jagoan harus berlari kian kemari mencari tempat yang aman untuk meledak. “Some days you just can’t get rid of a bomb”. Agak ganjil memang melihat Batman dan Robin selalu beraksi di siang bolong.

Baca Juga  Batman Movies

Bagi penonton masa kini Batman jelas sudah terlalu kuno. Secara setting dan kostum jelas jauh berbeda pendekatan dengan Batman versi Burton atau Nolan. Gaya televisi jelas masih dominan dengan pencahayaan yang terang benderang, setting interior di studio layaknya opera sabun, kostum layaknya badut, lalu akting dan dialog yang dilebih-lebihkan. Batcave layaknya sebuah laboratorium dengan segala peralatannya yang artifisial. Namun kendaraan Batman seperti Batmobile dan Batboat tidak begitu buruk rancangannya. Teknik fast motion digunakan untuk memperlihatkan dua kendaraan ini mampu melaju cepat. Adegan perkelahian tangan kosong pun cukup unik dengan menambahkan teks seperti “swoosh!, zwaap!, klonk!”, dan sebagainya. Tiap pergantian scene-pun simbol Batman selalu muncul.

Batman versi klasik ini tidak lain hanyalah versi panjang dari seri televisinya. Nuansa televisi terlalu kental dan terasa ganjil melihat Batman yang sejatinya makhluk malam harus beraksi di tempat yang selalu terang benderang. Namun yang menarik adalah karakter-karakter seperti Joker, Riddler, dan Penguin rupanya menjadi inspirasi karakter Batman garapan Burton dan Schumacher. Walau gayanya sudah old fashion tak ada salahnya kita menikmati Batman: The Movie sebagai bagian penting dari sejarah Batman dalam dunia film.

https://www.youtube.com/watch?v=vvY5MgOgDUw

Artikel SebelumnyaBatman Returns, Perpaduan Komersial dan Art Movies
Artikel BerikutnyaBatman Movies
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.