Sutradara: Aryanto Yuniawan
Produser: Aryanto Yuniawan/M. Suyanto/Heri Soelistio
Penulis Naskah: Aryanto Yuniawan
Pemain: Reza Rahardian/Maudy Ayunda/Ian Saybani/Tanaka Hidetoshi
Editing: Ivan Drummond
Ilustrasi Musik: Lukman Candra
Studio: MSV Pictures
Distributor: –
Durasi: 99 menit
Bujet: US$ 5 juta (imdb.com)
Gaung film animasi Battle of Surabaya sudah terasa sejak beberapa tahun silam khususnya di wilayah DIY hingga akhirnya rilis secara nasional beberapa hari lalu. Trailer-nya yang sudah sejak beberapa bulan lalu dirilis memperlihatkan gaya animasi Jepang (anime) yang kental. Tak masalah dengan ini namun ternyata film ini tidak sebesar seperti gaungnya.
Film ini berkisah tentang Musa, seorang bocah penyemir sepatu dan kurir surat berlatar peristiwa pertempuran di wilayah Surabaya tahun 1945. Musa berkawan dengan Yuna, seorang penjual makanan tradisional di pasar, serta Danu, seorang serdadu muda pemberani yang juga kakak angkat Yuna. Musa dalam beberapa kesempatan membantu mengirimkan informasi rahasia untuk membantu para pejuang mempertahankan kemerdekaan.
Plotnya terasa sederhana memang namun nyatanya cerita yang disajikan cenderung membingungkan karena cerita seringkali melompat dari satu adegan ke adegan lain tanpa penjelasan yang memadai. Alhasil sepanjang filmnya penonton tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi di layar. Cerita bergerak tanpa arah dan pijakan yang jelas sehingga penonton tidak mampu bersimpati pada karakter-karakternya dan larut dalam cerita yang menyebabkan sisi dramatiknya menjadi lemah. Plotnya justru membuat jarak yang sangat jauh antara penonton dengan filmnya. Mengapa cerita tidak fokus ke karakter Musa saja dan apa yang ia lalukan tanpa harus memberi informasi sejarah pada penonton, tokoh inilah, tokoh itulah, peristiwa ini dan peristiwa itu, yang justru membuat cerita tidak fokus.
Bisa jadi banyak orang mempermasalah gaya animasi Jepang (anime) pada film ini namun ini sama sekali bukan masalah. Ini hanya masalah gaya animasi yang terpenting sebenarnya adalah konten cerita. Walau tidak fair, mau tidak mau, terpaksa kita harus membandingkan dengan salah satu film anime terbaik sepanjang masa yang sedikit mirip dengan kisah Battle of Surabaya yakni, Hotaru no haka (Grave of the Fireflies) yang diproduksi tahun 1988. Kisah filmnya amat sangat sederhana namun pesan anti perangnya sungguh sangat kuat dan menyentuh. Film ini hanya fokus ke dua tokoh utama, Seita dan adiknya, Setsuko. Dalam kisahnya tidak ada penjelasan sejarah atau informasi tentang apa yang terjadi saat itu dan hanya fokus ke dua karakter tersebut setelah peristiwa pemboman besar-besaran di wilayah mereka. Visualisasinya sederhana namun pesan tersampaikan serta mampu membuat penonton menitikkan air mata.
Satu lagi yang menjadi kelemahan dalam Battle of Surabaya adalah tidak mampu memanfaatkan medium animasi secara optimal. Filmnya lebih mengesankan seperti film live action yang di-animasikan bukan sebaliknya. Medium animasi bisa memberi keleluasaan secara lebih ekspresif, imajinatif, dan abstrak ketimbang live action, ini yang menjadi kekuatan animasi dan ini tidak dilakukan dalam Battle of Surabaya. Film anime biografi (nonfantasi), The Wind Rises, mampu menggambarkan secara sempurna hal ini.
Di tengah gemerlapnya film animasi 3D produksi Hollywood, animasi 2D jelas bukan menjadi alasan film tidak bisa berkualitas, film-film produksi Studio Ghibli, bisa dijadikan rujukan. Kekuatan cerita adalah satu aspek yang membuat film-film kita bisa bersaing dengan film-film barat. Battle of Surabaya adalah sebuah proyek film animasi lokal ambisius yang usahanya sangat patut kita hargai namun film ini memiliki kelemahan dalam banyak aspek khususnya segi cerita yang tidak mampu membuat penonton untuk bersimpati dan larut dalam cerita. Sudah lebih dari 25 tahun sejak Hotaru no haka dirilis, mestinya kita bisa belajar banyak dari film ini.
setuju gan. soalnya sutradara Aryanto sudah belagu dahulu sebelum film rilis jadi gtu akibatnya berantakan wqwqww