Beetlejuice Beetlejuice (2024)
104 min|Comedy, Fantasy, Horror|06 Sep 2024
Rating: Metascore: N/A
After a family tragedy, three generations of the Deetz family return home to Winter River. Still haunted by Beetlejuice, Lydia's life is turned upside down when her teenage daughter, Astrid, accidentally opens the portal to the Af...

Beetlejuice Beetlejuice adalah sekuel dari Beetlejuice (1988) setelah lebih dari 35 tahun dan beberapa kali niatan sekuelnya gagal diproduksi.  Film sekuelnya masih digarap Tim Burton dengan menggunakan beberapa bintang lamanya, seperti Michael Keaton, Winona Ryder, Catherine O’Hara, serta beberapa bintang baru, Justin Theroux, Monica Bellucci, Jenna Ortega, hingga Willem Dafoe. Setelah sekian lama, apakah sang sineas mampu menyegarkan kembali satu ikon sinema enerjik dan liar ini?

Setelah berpuluh tahun kejadian silam, Lidya (Ryder) yang kini telah tenar, mendapat sekelebat penglihatan sosok Betelgeuse (dibaca Beetlejuice) di sela-sela pertunjukannya. Kabar buruk menghampiri ketika ayah tirinya (Charles) tewas kecelakaan. Lidya bersama ibunya, Delia (O’Hara) dan putrinya, Astrid (Ortega), harus kembali ke rumah tua milik mereka di Winter River. Mimpi buruk di masa lalu pun akhirnya kembali menjadi nyata ketika Betelgeuse kembali mengusik mereka.

Satu kesulitan terbesar adalah tentu bagi penonton yang belum pernah menonton film originalnya. Penonton awam rasanya mustahil telah menonton seri pertama, jika bukan penikmat film sejati atau cinephile, atau bisa jadi fans sang sineas. Saya sendiri menyempatkan menonton ulang karena alur plotnya telah samar-samar karena telah lama sekali dulu menonton. Plot film pertamanya terhitung kompleks, di antara dunia nyata dan afterlife dengan segala aturan mainnya yang rumit. Sama halnya dengan seri pertama, alur kisah sekuelnya masih juga bolak-balik di antara dua alam ini. Walau ada penjelasan, tetap saja ini terlihat rumit dan tampak begitu mudah seseorang masuk ke alam arwah. Demikian pula sebaliknya. Ini tentu yang membingungkan penonton masa kini.

Baca Juga  Terminator Genisys

Lepas dari plot seri pertama, kisah sekuelnya juga terlihat sekali memaksa. Kunci cerita di awal adalah sosok Adam (Alex Baldwin) dan Barbara (Geena Davis), lantas di mana mereka sekarang? Tentu kita tahu, dua sosok pemain ini mustahil untuk muncul karena umur yang telah uzur. Jika ada pun, mereka tidak boleh menua (karena mereka roh). Sudah pasti dua sosok ini harus dihilangkan dan penjelasannya pun terlalu ringkas. Lalu apa konfliknya sekarang? Tentu saja dibuat-dibuat, dengan menghadirkan sesosok istri lama Betelgeuse, Delores (Belucci), dan satu lagi sosok investigator yang diperankan Willem Defoe. Keduanya tampil tidak membekas dan peran mereka tak penting dalam alur plot utamanya.

Inti kisahnya adalah hubungan ibu dan putrinya, Lidya dan Astrid, yang itu pun tidak banyak gigitan berarti. Sosok Astrid yang diperankan Ortega tampak sekali menjadi penyeimbang kisah dengan menghadirkan sosok bintang muda masa kini yang tentu untuk sasaran penonton saat ini. Poin utama konfliknya pun mudah terantisipasi di antara kerumitan plot di antara dua alam di atas. Tak banyak kejutan berarti, dan tentu yang ditunggu adalah penampilan sosok Betelgeuse yang kini sang bintang (Keaton) telah uzur (72 tahun). Seperti sudah diduga, sang bintang sudah tak seenergik 36 tahun silam untuk memerankan sosok yang demikian nakal dan liar.

Beetlejuice Beetlejuice adalah sebuah sekuel memaksa dengan selusin karakter yang tak membekas, selain gaya sentuhan sang sineas yang khas dan sisi nostalgia. Opening sequence mampu membangkitkan sisi nostalgia karena kemiripan dengan opening film aslinya. Sentuhan kolaborator tetap sang sineas, komposer Danny Elman, semakin menguatkan nostalgia melalui ilustrasi musiknya. Burton seperti biasa masih menggunakan stempel visual yang khas, yakni gaya gothic yang kelam, khususnya di ranah afterlife. Akhir kata, Beetlejuice Beetlejuice adalah sebuah sekuel yang tak perlu. Sebagai saran jika ingin menonton film ini, sebaiknya menonton seri pertamanya.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaChinas – 100% Manusia
Artikel BerikutnyaMenghadapi Bayangan Bullying: Pelajaran Imperfect: Karier, Cinta & Timbangan dan Sinema Indonesia
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.