https://www.imdb.com/title/tt4669264/?ref_=fn_al_tt_1

     Film thriller politik internasional lazimnya selalu memiliki plot rumit dan intrik politik yang sulit untuk membedakan mana kawan dan lawan. Beirut juga menggunakan formula yang sama, hanya uniknya film ini berlatar waktu pada era 80-an di tengah kondisi perang sipil di Lebanon yang tengah memanas dengan pihak-pihak luar yang berkepentingan. Brad Anderson menggarap filmnya yang dikenal melalui thriller macam The Machinist dan The Call. Sementara naskahnya digarap Tony Gilroy yang punya pengalaman dengan genrenya melalui empat film seri Jason Bourne. John Hamm dan Rosamund Pike bermain sebagai dua tokoh utamanya.

     Kisah terpusat pada tokoh Mason Skiles (Hamm) yang keluar dari pekerjaannya sebagai diplomat AS untuk Lebanon setelah tragedi mengenaskan yang merenggut seluruh hidupnya. Sepuluh tahun kemudian satu masalah besar terjadi di Lebanon dan Mason ditunjuk sebagai negosiator tanpa ia sendiri tahu apa yang terjadi. Tak disangka, Mason terlibat dalam satu konflik internasional tingkat tinggi di tengah banyak pihak yang berkepentingan, serta ia sendiri harus berhadapan dengan trauma masa lalunya.

     Seperti film sejenis, plot diawali dengan penjelasan cerita tentang Lebanon beserta konfliknya yang melibatkan banyak pihak, diantaranya Israel, PLO, serta Amerika. Sang tokoh utama dikenalkan dengan baik dalam satu segmen pembuka sebagai juru bicara yang ulung di masa-masa jayanya di Beirut. Formula plot sudah terbaca sejak awal, dan Mason pun akhirnya “dipaksa” untuk melakukan misi kembali ke Beirut. Penceritaan terbatas membawa penonton tak tahu informasi apapun seperti halnya Mason. “Seseorang mohon jelaskan pada saya apa yang tengah terjadi?” ujar Mason dalam banyak adegan di awal dengan wajah kebingungan seperti halnya kita sebagai penonton. Cerita berjalan semakin menarik ketika kejutan demi kejutan muncul walau tensi cerita tak menegangkan seperti yang seharusnya. Satu hal yang membuat menarik adalah dalam situasi yang begitu rumit, namun melalui tokoh utamanya kita bisa mengetahui persis apa yang tengah terjadi dan seseorang ada di pihak mana. Kita tak tahu, pihak mana yang bisa kita percaya selain Mason. Mason adalah satu kunci kausalitas yang mampu membuat kita bisa berpijak pada plot utamanya. Walau sayangnya tak menegangkan dengan klimaks yang menggigit seperti halnya Bridge of Spies, Beirut bekerja dengan baik melalui pendekatan estetiknya yang realistik, khususnya dari sisi setting.

     Beirut merupakan film thriller politik menawan dengan penceritaannya yang sabar, namun penuh kejutan walau kini sudah tak lagi istimewa untuk genrenya. Penampilan John Hamm adalah salah satu kunci keberhasilan film ini dengan bermain baik sebagai sosok yang traumatik, cerdas, namun terlihat tak meyakinkan di mata lawan maupun kawan politiknya. Seperti lazimnya film thriller politik sejenis, plotnya juga menyinggung lemahnya intelejen AS. AS yang berperan sebagai cowboy di negara terkena konflik di Timur Tengah selalu memiliki agenda tersembunyi yang selalu menguntungkan dirinya sendiri. “Reality”, mengutip kata-kata seorang pejabat diplomatik AS di film ini.

Baca Juga  Free Guy

WATCH NEWS

PENILAIAN KAMI
Overall
75 %
Artikel SebelumnyaSteven Spielberg Garap Adaptasi Komik DC
Artikel BerikutnyaTrailer “Summer Movies” Terbaru
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.