Ben-Hur (2016)

123 min|Action, Adventure, Drama|19 Aug 2016
5.7Rating: 5.7 / 10 from 47,213 usersMetascore: 38
Judah Ben-Hur, a Jewish prince falsely accused of treason by his adopted brother, an officer in the Roman army, returns to his homeland after years at sea to seek revenge, but finds redemption.

Siapapun pecinta film berat pasti tahu Ben-Hur (1959). Sebuah film epik masterpiece era klasik yang hingga kini pun sulit dicari tandingan. Sebelas raihan Oscar pada eranya adalah prestasi yang amat fenomenal begitu pun sukses komersilnya. Bujet produksi pun tercatat yang termahal pada masanya dengan menggunakan 10.000 ribu figuran serta setting yang maha megah. Sebuah pencapaian yang sempurna dari sisi manapun hingga kini pun dianggap sebagai salah satu film terbaik yang pernah ada. Me-remake film sebesar ini jelas adalah satu keputusan yang amat berisiko karena pendekatan baru harus dilakukan untuk keluar dari bayang-bayang film klasiknya. Sineas Rusia, Timur Bekmambetov yang kita kenal melalui Wanted dan Abraham Lincoln: Vampire Hunter rupanya berani mengambil resiko.

Durasi film klasiknya adalah 212 menit dan kini remake-nya hanya 123 menit, selisih sekitar 90 menit. Dari sisi durasi sudah tampak perbedaan amat signifikan dari sisi cerita dan banyak elemen cerita dan tokoh yang dihilangkan atau dipercepat. Dibanding versi klasiknya jelas terlalu banyak perbedaan cerita, salah satu yang paling mencolok adalah segmen ketika Ben-Hur menjadi budak di kapal Romawi, film remake-nya hanya berfokus pada adegan pertempuran di laut. Singkatnya, kisahnya kini tampak sekali disesuaikan untuk penonton modern, efektif, to the point, dan semuanya mengarah ke segmen klimaks yang ditunggu-tunggu, balap kereta kuda. Beruntung bagi penonton yang belum melihat film klasiknya sehingga banyak sekali kelemahan cerita bisa jadi tidak terlihat. Plot film ini jelas kehilangan ruh serta kekuatan dramatik versi klasiknya.

Baca Juga  X

Apalagi yang mau ditawarkan remake-nya selain pencapaian visual atau pun CGI. Timur mencoba pendekatan berbeda dalam segmen pertempuran di laut dengan hanya mengambil sudut pandang tokoh Ben-Hur di bawah dek kapal dan usahanya ini berhasil sehingga mampu membawa penonton ke situasi perang di lautan yang amat mengerikan. Satu lagi jelas momen final, balap kereta kuda, walau dalam beberapa sudut pengambilan tampak sekali artifisial (CGI) namun secara keseluruhan mampu menyajikan balapan yang penuh dengan ketegangan tinggi. Segmen ini adalah momen terbaik dalam filmnya.

Momen penting dalam Ben-Hur salah satunya adalah kemunculan Yesus dalam beberapa adegan. Apa yang ditampilkan dalam remake-nya ini amatlah lemah serta membuat sosok besar ini menjadi tidak istimewa. Adegan ketika Yesus memberi minum Ben-Hur sang budak dalam perjalanan ke pelabuhan tidak ubahnya seperti adegan drama televisi yang sama sekali tidak ditampilkan secara kuat dan filmis. Amat berbeda sekali dengan versi klasiknya melalui pendekatan sinematografi yang brilyan bahkan tanpa memperlihatkan wajah sang mesiah namun sosok ini tampak sekali “powerful” serta memiliki karisma yang amat tinggi.

Benhur adalah sebuah remake yang tidak perlu dan kehilangan roh versi klasiknya, serba tanggung baik sisi cerita maupun sinematik. Para pemain yang sebagian besar bukan bintang top jelas tidak mampu berbuat banyak untuk menolong filmnya. Dari sisi sineas sendiri, gaya sinematik Timur khususnya adegan-adegan aksi dalam Wanted dan Vampire Hunter yang khas kini tidak tampak sama sekali. Film ini jelas lewat bagai angin lalu dan bakal dilupakan begitu saja. Formula me-remake versi klasik dari mahakarya sekelas ini terbukti adalah ide yang sangat buruk. Namun setidaknya bagi para penggemar genre epik sejarah mendapatkan kepuasan tersendiri karena kini sudah amat jarang diproduksi.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
40 %
Artikel SebelumnyaAthirah
Artikel BerikutnyaAda Cinta di SMA
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.