Love for Share (2006)
120 min|Comedy, Drama, Romance|23 Mar 2006
7.7Rating: 7.7 / 10 from 427 usersMetascore: N/A
This is the story of women those are live in polygamy life. It's about their consequence to accept the status as other wife.

Masalah Poligami rupanya masih menjadi topik menarik untuk diangkat. Kali ini melalui film Berbagi Suami, Nia Dinata mencoba menggambarkan berbagai masalah dalam praktek poligami di kota besar. Film dibagi dalam tiga segmen cerita yang berjalan simultan dengan latar belakang yang berbeda. Segmen pertama merupakan praktek poligami di kalangan atas, segmen kedua di kalangan bawah, dan segmen ketiga di kalangan keturunan Tionghoa. Seluruh segmen dituturkan melalui sudut pandang salah satu istri, berturut-turut, istri pertama, istri ketiga dan terakhir istri simpanan. Cerita dalam tiap segmennya berjalan dengan tempo cepat dan tiap kali dijejali dengan informasi-informasi baru tanpa sedikitpun memberikan waktu bagi kita untuk mengambil nafas. Kejutan demi kejutan terus bermunculan hingga mencapai titik balik sekitar pertengahan segmen kedua. Seluruh informasi yang masuk setelahnya sudah bukan lagi kejutan dan cenderung melelahkan. Segmen ketiga hanya merupakan pertunjukan visual semata tanpa mampu lagi dicerna oleh otak dan pikiran kita.

Dari ketiga kisah yang disajikan, kisah kedua bisa dibilang merupakan segmen yang terbaik. Walau hanya dibatasi dengan ruang gerak yang terbatas namun cerita dapat berkembang begitu utuh dan kompleks. Bisa dibayangkan satu rumah kecil dengan satu orang suami bersama tiga orang istri dan lima orang anak (atau lebih). Kunci kekuatan episode ini terletak pada permainan akting para pemainnya yang matang. Ria Irawan, Rieke Dyah Pitaloka dan Shanti dengan karakternya masing-masing yang unik mampu menghidupkan suasana tiap adegannya dengan begitu enerjik. Adegan demi adegan berjalan penuh dengan nuansa komikal yang segar seperti ketika adegan Mbak Sri melahirkan, malam pertama Siti, percintaan Mbak Dwi dan Siti, lengkap dengan suara-suara desahan di malam hari. Dialog pun bergulir sederhana namun efektif dan pas untuk tiap karakternya. Tercatat penampilan Rieke sebagai sosok Dwi adalah yang paling menonjol. Tanpa menggunakan banyak dialog, Rieke mampu menggunakan bahasa tubuh bersama asap rokoknya untuk berkomunikasi dengan penonton. Satu-satunya kelemahan segmen ini mungkin pada logat jawa yang digunakan terasa agak kaku.

Baca Juga  Habibie & Ainun 3

Dari sisi cerita tmpak bahwa Berbagi Suami memiliki tendensi sikap anti-poligami. Kenyataannya memang film ini banyak menyinggung bermacam dampak negatif poligami seperti cekcok antara suami-istri, persaingan antar istri, konflik antara anak-orang tua, masalah ekonomi, banyak anak, hubungan sesama wanita dan sebagainya. Film juga memberikan kesan kuat bahwa poligami hanya untuk memenuhi tuntutan biologis (fisik) semata. Kaum wanita semata-mata hanya digambarkan sebagai subyek namun anehnya mereka juga tampak menikmati hal ini. Hal ini memang manusiawi namun justru mengaburkan pesan anti-poligami itu sendiri. Bagi kaum pria film ini bisa jadi justru memberikan gambaran yang kuat pada mereka tentang nikmatnya berpoligami. Terlebih para istri digambarkan memiliki sosok fisik yang menarik. Ataukah film ini memang sengaja berada di tengah-tengah untuk mengungkapkan realitas sosial semata. Entahlah. Berbicara realitas sosial, beberapa pesan kemanusiaan yang disinggung seperti bencana dan bantuan ke Aceh serta pesan KB juga lebih sekedar merupakan tempelan belaka atau iklan layanan masyarakat (KB).

Artikel SebelumnyaSpider-Man 3, Hanya Hiburan Belaka
Artikel BerikutnyaCinta Pertama, Hanya Mengejar Romantisme
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.