bila esok ibu tiada

Mengangkat novel best seller dari Nuy Nagiga dengan judul yang sama, Bila Esok Ibu Tiada mengangkat cerita realistis dan mengharu biru tentang sebuah keluarga. Disutradarai oleh Rudy Soedjarwo, penonton harus mempersiapkan sekotak tissue sebagai antisipasi sebelum memasuki gedung bioskop. Christine Hakim, Adinia Wirasti, Fedi Nuril, Amanda Manopo, Yasmin Napper, dan Slamet Rahardjo telah berhasil memerankan karakter-karakter utama di film ini dengan mengesankan.

Rahmi (Hakim) dan keempat putra-putrinya telah ditinggalkan oleh Haryo (Rahardjo), suami dan ayah mereka, dan seorang karakter sentral dalam keluarga. Bukan hanya memimpin keluarga dengan sangat baik, Haryo juga menjadi lem perekat bagi setiap anggota keluarganya. Tiga tahun berlalu, dan keharmonisan dalam rumah tangga mereka digantikan dengan realitas kehidupan yang keras. Bukan hanya Rahmi yang berduka kehilangan suami tercintanya, keempat anaknya mengalami cobaan dan masalah mereka sendiri yang saling terkait dan berkesinambungan satu sama lain.

Hal pertama yang menarik perhatian di film ini adalah betapa dinamisnya hubungan antar karakter yang cukup rumit dan penuh lapisan-lapisan mendalam. Dan tidak hanya itu, meskipun semua karakter di film ini dasarnya orang-orang baik yang saling menyayangi, terlihat jelas bahwa mereka semua memiliki kekurangan masing-masing. Rahmi yang tersesat dalam menyatukan putra-putrinya setelah meninggalnya suaminya, Ranika (Wirasti) si putri sulung yang keras, Rangga (Nuril) yang belum mapan, Rania (Manopo) yang emosional, dan Hening (Napper) yang terhanyut pergaulan anak muda.

Filmmaker telah berhasil menunjukkan masalah dan konflik-konflik dalam film ini dengan begitu baiknya. Cara sutradara meramu adegan-adegan dan membingkai kedalaman emosi setiap karakter terasa begitu memilukan dan mengharukan. Bagian terbaik di film ini adalah portrayal cinta dan duka Rahmi terhadap kematian suaminya. Setiap adegan dengan topik ini dikemas dengan begitu masterful dan menguras air mata.

Akting Hakim dalam menunjukkan kesedihan dalam kehilangan sangatlah menyentuh, ditambah keputusan pengemasan adegan dari filmmaker yang halus dan mendayu-dayu. Keberadaan Rahardjo di film ini juga begitu singkat dan efektif, sanggup menghancurkan hati penonton hanya dengan kemunculannya yang sedikit. Ini adalah salah satu keputusan lain yang sangat tepat mengingat kematian Haryo hanyalah latar-belakang cerita.

Begitu kuatnya adegan-adegan ini terasa jauh lebih memorable daripada konflik utama yang ingin disampaikan, yaitu ‘apakah putra-putri ibu akan harmonis setelah ibu tiada’. Karena itulah, bagian yang seharusnya menjadi klimaks cerita yang terjadi setelahnya menjadi terasa sedikit hambar.

Setiap subplot yang membangun plot utama di film ini adalah ceritanya sendiri yang pantas dieksplorasi lebih mendalam. Namun, karena plot utama agak tersingkir di bawah bayang-bayang subplot khusus ibu, rasanya subplot yang lain juga teranak-tirikan. Subplot kuat selain yang utama ada setidaknya empat, melihat jumlah anak ibu di film ini. Diantaranya, subplot yang cukup menonjol adalah subplot dari Ranika, yang mungkin didukung dengan karakternya yang bersifat keras pula. Namun subplot yang lain terasa agak ditelantarkan.

Subplot Rangga adalah subplot yang seharusnya menarik apabila filmmaker menginvestasikan lebih banyak adegan yang berfokus pada keadaan emosional Rangga, bukan hanya cobaan-cobaan yang ia alami. Di seluruh durasi film, memang ia selalu ada dan menjadi bagian di dalamnya, namun hanya ada dua adegan di mana filmmaker menunjukkan emosi terdalamnya. Itu pun melalui ibunya dan istrinya, bukan dirinya sendiri. Hal ini juga terjadi di subplot Rania dan Hening, meski keduanya mendapat kesempatan lebih ekspresif dalam adegan-adegan mereka.

Baca Juga  Buku Harianku

Rania adalah karakter yang menarik, namun penanganan subplotnya terasa agak kasar jika dibandingkan dengan penanganan cerita karakter-karakter lain. Potongan-potongan adegan yang menampilkan cerita Rania terasa ditempel ke dalam film secara kurang natural, kurang menyatu. Paralel-paralel adegannya dengan karakter Ranika dan ibu terlalu dipaksakan, padahal Rania adalah kontras kuat karakter mereka. Hal ini membuat penonton kurang bisa bersimpati dengan Rania yang digambarkan sebagai karakter superfisial.

Soal karakter Hening, satu-satunya kekurangan dari subplotnya adalah kurangnya eksplorasi konsekuensi yang ia tanggung dari perbuatannya di luar keluarganya. Memang ada, namun pengemasannya kurang mendalam dan yang paling tidak memorable. Selebihnya, Hening adalah karakter yang berpotensi dapat menggantikan ibu dan ayah, meski ia adalah anak bungsu keluarga. Ia berhasil menjadi pengganti lem perekat beserta penengah konflik yang efektif, dan itu pun ditunjukkan dengan baik melalui penulisan dialog dan adegan-adegannya.

Memang bisa dibilang akting Hakim sebagai ibu dan Wirasti sebagai si putri sulung dipenuhi dengan main character energy. Wajah mereka sering ditunjukkan dalam close up, dan meski mereka berada di latar belakang, keberadaan mereka selalu mencuri perhatian. Emosi halus maupun kuat yang mereka pancarkan sangatlah manis disusun dalam bingkai kamera. Sekali lagi, ini bukan hanya karena akting kedua aktris yang sangat fenomenal ini, tapi juga bagaimana sempurnanya filmmaker membingkai ratapan kesedihan dan konflik mereka.

Contohnya seperti adegan ibu terbangun di ranjang atau menangis sendirian tanpa ada suaminya, dan adegan Ranika yang menangis dalam diam, menyembunyikan air matanya di background sementara saudara-saudarinya berada di foreground. Hal ini menunjukkan betapa terisolasinya mereka dari karakter-karakter yang lain setiap mereka berkumpul di dalam satu frame.

Kembali ke topik yang membahas konflik utama antara keempat kakak beradik ini, ada banyak hal yang bisa dibahas lebih mendalam, seperti adegan-adegan pertengkaran mereka yang selalu terjadi setiap keempatnya berkumpul, di mana sesuatu akan selalu pecah setiap itu terjadi. Di dalam film ini, sekitar empat kali keempatnya berkumpul bersama, dan tiga kali mereka bertengkar. Menariknya, adegan pertengkaran mereka sangatlah natural dan realistis. Terlihat jelas bahwa para aktor semuanya memiliki kemampuan yang sangat baik dalam improvisasi, mengucapkan dialog dengan natural dan menjaga alur percakapan yang mulus.

Selebihnya, kekurangan dalam film ini cukup bisa disembunyikan dengan baik. Terlepas dari ketidakseimbangan penanganan dalam plot-plot dalam ceritanya, memang adegan-adegan dengan upaya maksimal membuahkan hasil yang maksimal. Sekali lagi, bawalah tissue sebelum pergi ke bioskop.

Ini adalah salah satu film dengan penggambaran dinamika keluarga terbaik yang pernah muncul di layar lebar, terutama melihat jumlah karakternya yang cukup banyak dan begitu dalamnya lapisan-lapisan konflik dan pesan di dalamnya. ‘Bila Esok Ibu Tiada’ berhasil dalam menggambarkan duka serta menunjukkan efeknya terhadap setiap karakter di ceritanya.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaGladiator II
Artikel BerikutnyaBetting with Ghost

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.