Bayangkan Anda seorang nonton film anyar Tom Cruise, The Mummy dan referensi Anda tentang The Mummy adalah film berjudul sama yang dibintangi Brendan Fraser, rilis 1999, yang entah sudah berapa kali diputar di TV. Anda mungkin punya pertanyaan begini sebelum nonton: ini sekuel atau remake alias buat ulang?

Walau mungkin salah, saya menduga kebanyakan penonton film kita tak membaca situs Hollywood Reporter atau Variety, maupun mengecek ranking film anyar di Rotten Tomatoes. Referensi mayoritas penonton kita jangan-jangan hanya Bioskop Trans TV atau film-film Hollywood yang ditayang ulang terus di stasiun TV nasional.

Mereka rasanya tak tahu dan tak peduli kalau The Mummy-nya Tom Cruise ini film pembuka dari sebuah jagat film yang rencananya bakal panjang, khususnya film-film monster, hantu, dedemit, makhluk jejadian yang pernah populer dirilis oleh studio Universal sejak 1930-an hingga 1950-an. Selain mumi ada vampir, serigala jejadian hingga makhluk ciptaan Frankenstein.

Makhluk-makhluk itu dibangkitkan lagi oleh Universal dalam jagat film yang mereka sebut “Dark Universe”. Niatnya sih, Dark Universe ini bakal meramaikan film-film franchise yang saling berhubungan, menyambung antara satu film dengan ayng lain, sebagaimana Disney/Marvel Studio punya MCU (Marvel Cinematic Universe, Jagat Sinema Marvel) dan Warner Bros/DC punya DCEU (DC Extended Universe, jagat Sinema DC).

Sekali lagi saya sangsi kebanyakan penonton kita peduli pada tetek bengek itu semua. Dari situ saya membayangkan apa rasanya nonton The Mummy tanpa tahu soal Dark Universe sama sekali.

Yang utama, tentu saja, karena referensi orang kebanyakan tentang  film mumi berhenti pada The Mummy-nya Brendan Fraser, mau tak mau si penonton akan membandingkan The Mummy-nya Tom Cruise dengan versi akhir 1990-an itu. Dan hasilnya, bisa dibilang, The Mummy-nya Brendan Fraser yang disutradarai Stephen Sommers masih lebih asyik ketimbang The Mummy-nya Tom Cruise yang dibesut Alex Kurtzman. Film mumi versi baru hanya lebih unggul dari segi efek visual yang lebih kekinian. Sebagai tontonan, lebih fun versi 1990-an.

Baca Juga  Latahnya Patriotisme dalam Jagat Sinema Indonesia

Sebetulnya, saat The Mummy rilis hampir 20 tahun lalu, yang diacu filmnya adalah film aksi-petualangan pencarian harta karun macam Indiana Jones. Bukan film mumi asli rilisan 1932 yang dibintangi Boris Karloff yang lebih bernuansa horor. Itu sebabnya, yang paling dikenang dari film mumi 1990-an adalah adegan dikejar tengkorak hidup, digigit ribuan kalajengking, hingga dilumat badai pasir berbentuk wajah.

Nah, film mumi versi dekade kedua abad ke-21 tampak labil dan tanggung. Ia tak bisa melepaskan diri dari mumi versi Sommers namun di saat bersamaan ingin juga terlihat serius dan menyeramkan. Kisah mumi versi Sommers telah ditetapkan sebagai standar bagi film mumi yang lahir kemudian. Itu sebabnya, dari segi pengisahan, versi 2017 ini semacam mumi versi cewek dari yang versi 1990-an.

Bagi yang tak tahu Dark Universe, The Mummy versi 2017 hanya sebuah versi kekinian dari film mumi 1990-an yang sering nongol di TV. Orang bakal mengira lanjutannya bakal berjudul The Mummy Returns.***
WATCH TRAILER

Artikel SebelumnyaMantan
Artikel Berikutnya47 Meters Down
Kontributor Montasefilm.com, bekerja sebagai wartawan di Jakarta. Bukunya yang sudah terbit “Seandainya Saya Kritikus Film” (Homerian Pustaka, Yogyakarta), rilis 2009.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.