http://www.imdb.com/title/tt2513074?pf_rd_m=A2FGELUUNOQJNL&pf_rd_p=2495768482&pf_rd_r=08JPAHCV6TG9YF5G94A9&pf_rd_s=right-4&pf_rd_t=15061&pf_rd_i=homepage&ref_=hm_otw_t0

Billy Lynn’s Long Halftime Walk garapan sineas kawakan Ang Lee, diambil dari novel berjudul sama karya Ben Fountain. Setelah absen empat tahun, ini adalah film pertama Ang Lee sejak sukses Life of Pi. Pi yang bernuansa filosofis, ambigu antara benar dan salah, rupanya masih memberi pengaruh besar pada Billy Lynn. Filmnya kali ini jelas bukan untuk penonton awam sekali pun nama Vin Diesel ada disana. Trailer pun rasanya bakal mengecoh penonton yang berharap dengan tontonan aksi perang seru yang disajikan hanya segelintir saja dalam filmnya. Billy Lynn memang tidak mengarah kesana namun adalah sebuah perenungan.

Alkisah Billy bersama rekan-rekannya menjadi pahlawan perang di Amerika setelah tindakan aksi heroik mereka dalam satu pertempuran di Iraq. Mereka, Tim Bravo, diarak ke seluruh penjuru negeri bak selebriti. Hari itu adalah hari selebrasi terakhir mereka sebelum kembali ke Iraq. Mereka mendapat giliran berkunjung ke stadion besar di Dallas untuk menonton pertandingan tim football jagoan setempat dan berkesempatan sepanggung bersama Destiny’s Child. Dalam momen sesaat ini Billy merenungi kembali masa-masa lalunya untuk mencari sesuatu yang hilang dalam dirinya.

Billy Lynn bukan seperti film drama kebanyakan. Konfliknya nyata dan cenderung datar. Tak ada masalah berarti disini. Tim Bravo menjadi sorotan publik dan semua rekan Billy menyukainya, apalagi mereka mendapat kesempatan untuk difilmkan dengan bintang Hillary Swank, dan bisa menonton Destiny’s Child menari berlenggak-lenggok dari dekat. Siapa yang tak suka menjadi pahlawan dan dipuja-puja? Konflik justru ada dalam diri Billy. Antara mimpi, keinginan, dan tugas negara bercampur aduk dalam batin Billy. Tak ada yang salah dan tak ada yang benar disini. Semua adalah tentang cinta, persaudaraan, dan kehormatan. Pilihan Billy adalah sesuatu yang membuatnya merasa diterima dan dimana ia bisa merasakan sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Hal ini yang membuat film ini berbeda dengan film drama perang lainnya.

Baca Juga  The Flash

Dengan drama dan temanya tak heran penampilan akting menjadi salah satu poin penting dalam film ini. Joe Alwyn, aktor muda yang menjadi Billy mampu bermain baik dan emosional dengan wajahnya yang hampir sepanjang film penuh ekspresi kebimbangan sekalipun ia tampak tenang. Garreth Hedlund mampu mencuri perhatian sebagai Sersan Dime, kepala tim Bravo lugas, tegas, dan selera humornya kadang kelewatan. Dua aktor komedian senior, Chris Tucker dan Steve Martin juga bermain sangat baik dalam peran di luar kebiasaan mereka.

Billy Lynn’s Long Halftime Walk menawarkan sebuah perenungan, drama penuh kilas-balik dengan momen-momen unik walau bukan salah satu karya terbaik Ang Lee. Satu pendekatan teknis menarik adalah penggunaan close up yang mengarah langsung ke arah kamera dalam beberapa adegan. Pemain seolah berbicara pada penonton bukan lawan bicaranya, mengingatkan pada gaya sineas klasik Jepang, Yasujiro Ozu. Jelas motifnya berbeda dengan Ozu namun teknik ini mampu memberikan nuansa keintiman dan personal. Dialog tersebut bisa menjadi renungan kita semua. Hitam dan putih sudah tak jelas dalam dunia lama Billy. Kehormatan sudah dibuang jauh entah kemana. Billy justru mampu membedakan itu semua di medan perang dimana rekan-rekannya menyayangi lebih dari apapun dan berkata pada Billy (kita), “I love you”.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaTerpana
Artikel BerikutnyaBarakati
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses