*Update dari artikel 21 Juni 2015.

     Mungkin tidak banyak kawula muda Jogja kini yang tahu jika di lokasi bangunan Empire XXI dulunya pernah berdiri bangunan bioskop Empire 21. Saat ini di Kota Jogja terdapat empat bioskop besar, namun jika kita kembali ke era silam, sebenarnya jumlahnya sangat banyak. Sejak dekade 1960-an hingga 1970-an, di Jogja telah berdiri bioskop-bioskop ternama, sebut saja Permata (Pakualaman), Indra (depan Pasar Beringharjo), Senopati (sekarang Taman Pintar), Rahayu (Jl. Solo), Ratih (Jl. Mangkubumi), Soboharsono (Alun-alun Utara), Arjuna (Samsat), dan lain-lainnya. Pada dekade 1980-an, di Jogja mulai dibangun bioskop-bioskop besar yang menggunakan fasilitas pendingin ruangan serta tata suara mutakhir, seperti bioskop Mataram (selatan Jembatan Lempuyangan), President (sekarang Hotel Novotel), Regent (sebelah barat Empire XXI), Mitra, (Jl. Solo), hingga Galaxy (Jl. Magelang). Bioskop Regent tercatat sebagai cineplex pertama di Jogja yang memiliki 4 buah teater.

     Perkembangan bioskop di Kota Jogja mulai berubah ketika di awal 1990-an jaringan bioskop 21 masuk, yakni Empire 21. Bioskop ini tercatat sebagai bioskop jaringan 21 pertama di Jogja yang memiliki total 8 teater. Melalui konsep yang lebih modern, jumlah teater yang banyak, tata suara yang oke, serta memutar film-film yang relatif baru, Empire 21 dalam waktu singkat menjadi tempat menonton kawula muda Jogja paling populer selama hampir satu dekade ke depan. Bioskop ini pada masanya juga mematok harga tiket paling mahal yakni, sekitar 4000 perak! Dalam perkembangannya, beberapa bioskop lama pun diambil-alih oleh jaringan bioskop 21, seperti Regent, Ratih, dan Galaxy setelah merenovasi bangunan fisik mereka. Sekalipun terdapat tiga bioskop baru tersebut, namun tetap saja Empire 21 adalah tempat menonton yang paling diminati pada saat itu. Bioskop Mataram pada era ini juga menjadi satu-satunya bioskop non-21 yang memutar film-film relatif baru. Sementara bioskop-bioskop lawas, seperti Permata, Indra, Senopati, Widya, dan lainnya jelas kalah bersaing dan lebih memilih memutar film-film kelas dua atau film-film lama. Beberapa di antara bioskop-bioskop lawas tersebut bahkan juga banyak yang menutup usahanya.

Baca Juga  James Bond Idaman Kaum Hawa

     Bicara soal film-film yang diputar, di awal 1990-an, bioskop-bioskop Jogja sedikit terlambat (selisih beberapa minggu) dalam merilis film-film baru dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya, seperti Jakarta dan Surabaya. Namun, sejak tahun 1996 hingga  1998 (sebelum krisis moneter), bioskop-bioskop di Jogja mencapai puncak kejayaannya dengan merilis film-film baru yang sama waktu rilisnya dengan bioskop di kota-kota besar lainnya, sebut saja film-film laris macam The Lost World, The Independence Day, hingga Titanic. Hampir setiap malam bioskop-bioskop tersebut nyaris tidak pernah sepi penonton. Midnight Show (tengah malam) di akhir pekan menjadi favorit kawula muda karena pada waktu pemutaran inilah film-film baru biasanya pertama kali diputar. Tradisi Old & New (malam tahun baru) juga selalu ramai penonton karena bioskop biasanya memutar film-film baru hingga dua pemutaran sekaligus.

Halaman Berikut: Krisis Moneter Berdampak ke Bioskop

1
2
3
4
Artikel SebelumnyaInfinity War Pecahkan Rekor Box-Office Opening Weekend Sepanjang Masa!
Artikel BerikutnyaBatman Ninja
Hobinya menonton film sejak kecil dan mendalami teori dan sejarah film secara otodidak setelah lulus dari studi arsitektur. Ia mulai menulis artikel dan mengulas film sejak tahun 2006. Karena pengalamannya, penulis ditarik menjadi staf pengajar di Akademi Televisi dan Film swasta di Yogyakarta untuk mengajar Sejarah Film, Pengantar Seni Film, dan Teori Film sejak tahun 2003 hingga tahun 2019. Buku film debutnya adalah Memahami Film (2008) yang memilah seni film sebagai naratif dan sinematik. Buku edisi kedua Memahami Film terbit pada tahun 2018. Buku ini menjadi referensi favorit bagi para akademisi film dan komunikasi di seluruh Indonesia. Ia juga terlibat dalam penulisan Buku Kompilasi Buletin Film Montase Vol. 1-3 serta 30 Film Indonesia Terlaris 2012-2018. Ia juga menulis Buku Film Horor: Dari Caligari ke Hereditary (2023) serta Film Horor Indonesia: Bangkit Dari Kubur (2023). Hingga kini, ia masih menulis ulasan film-film terbaru di montasefilm.com dan terlibat dalam semua produksi film di Komunitas Film Montase. Film- film pendek arahannya banyak mendapat apresiasi tinggi di banyak festival, baik lokal maupun internasional. Baru lalu, tulisannya masuk dalam shortlist (15 besar) Kritik Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2022. Sejak tahun 2022 hingga kini, ia juga menjadi pengajar praktisi untuk Mata Kuliah Kritik Film dan Teori Film di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dalam Program Praktisi Mandiri.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.