Krisis moneter pada tahun 1997, berdampak besar bagi perkembangan bioskop-bioskop di Jogja. Film-film baru pun mulai jarang diputar. Akibatnya, penonton mulai sepi dan lebih memilih menonton VCD bajakan yang saat itu mulai marak. Satu demi satu, bioskop-bioskop di Jogja mulai rontok. Bioskop-bioskop 21, seperti Regent, Ratih, dan Galaxy hanya bertahan beberapa tahun sebelum akhirnya menutup usaha, kecuali Regent yang terbakar. Bioskop-bioskop kelas dua, seperti Widya, Rahayu, dan Senopati pun akhirnya tutup. Empire 21 masih mampu bertahan dengan strategi merilis ulang film-film lama namun akhirnya bangunan bioskop ini pun terbakar pada tahun 1999 dan dibongkar rata dengan tanah. Bioskop Mataram setelahnya menjadi satu-satunya bioskop kelas satu di Jogja yang mampu bertahan hingga dekade mendatang.

11025201_10153146183463557_2848153597288433927_n
Bioskop Mataram Jogja

     Setelah tidak adanya Empire 21, praktis anak-anak muda Jogja kehilangan tempat menonton yang memadai. Boleh dibilang kegiatan menonton di Kota Jogja “mati suri” selama lebih dari separuh dekade. Bioskop Mataram tidak pernah lagi merilis film-film baru, namun di awal milenium baru, sukses gila-gilaan dicapai melalui film-film produksi dalam negeri yang akhirnya bangun dari tidur panjangnya. Film-film fenomenal, seperti Jelangkung dan Ada Apa dengan Cinta, selama beberapa bulan mampu menyedot ribuan penonton seolah tanpa henti masuk ke bioskop ini. Sayangnya, sukses film-film ini tidak diikuti dengan pengembangan dan peningkatan sarana dan fasilitas bioskop ini, seperti tata suara (masih stereo), bangku penonton, proyektor, dan lainnya sehingga menjadikan bioskop ini layaknya bioskop kelas dua. Walaupun begitu, setiap kali film-film Indonesia diputar, tetap saja bioskop ini nyaris selalu dibanjiri penonton. Bioskop Mataram baru pada tahun 2008 lalu berhenti beroperasi akibat bencana angin puting beliung yang merusak bangunan utamanya. Sementara bioskop-bioskop kelas dua lainnya, seperti Permata dan Indra, praktis tidak mampu bersaing namun masih sempat bertahan selama beberapa waktu hingga akhirnya berhenti beroperasi.

Baca Juga  Kritik Film: Kriteria dan Penilaian

Halaman Berikut: Angin Segar Bioskop di Jogja

1
2
3
4
Artikel SebelumnyaInfinity War Pecahkan Rekor Box-Office Opening Weekend Sepanjang Masa!
Artikel BerikutnyaBatman Ninja
Hobinya menonton film sejak kecil dan mendalami teori dan sejarah film secara otodidak setelah lulus dari studi arsitektur. Ia mulai menulis artikel dan mengulas film sejak tahun 2006. Karena pengalamannya, penulis ditarik menjadi staf pengajar di Akademi Televisi dan Film swasta di Yogyakarta untuk mengajar Sejarah Film, Pengantar Seni Film, dan Teori Film sejak tahun 2003 hingga tahun 2019. Buku film debutnya adalah Memahami Film (2008) yang memilah seni film sebagai naratif dan sinematik. Buku edisi kedua Memahami Film terbit pada tahun 2018. Buku ini menjadi referensi favorit bagi para akademisi film dan komunikasi di seluruh Indonesia. Ia juga terlibat dalam penulisan Buku Kompilasi Buletin Film Montase Vol. 1-3 serta 30 Film Indonesia Terlaris 2012-2018. Ia juga menulis Buku Film Horor: Dari Caligari ke Hereditary (2023) serta Film Horor Indonesia: Bangkit Dari Kubur (2023). Hingga kini, ia masih menulis ulasan film-film terbaru di montasefilm.com dan terlibat dalam semua produksi film di Komunitas Film Montase. Film- film pendek arahannya banyak mendapat apresiasi tinggi di banyak festival, baik lokal maupun internasional. Baru lalu, tulisannya masuk dalam shortlist (15 besar) Kritik Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2022. Sejak tahun 2022 hingga kini, ia juga menjadi pengajar praktisi untuk Mata Kuliah Kritik Film dan Teori Film di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dalam Program Praktisi Mandiri.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.