Black Adam (2022)
125 min|Action, Adventure, Fantasy|21 Oct 2022
6.2Rating: 6.2 / 10 from 298,162 usersMetascore: 41
Nearly 5,000 years after he was bestowed with the almighty powers of the Egyptian gods--and imprisoned just as quickly--Black Adam is freed from his earthly tomb, ready to unleash his unique form of justice on the modern world.

Setelah berulang kali gagal secara kritik dan komersial, DC Extended Universe (DCEU) mencoba merubah arah semesta sinematiknya melalui Black Adam dengan dukungan sang superstar, Dwayne Johnson. Adam diarahkan oleh Jaume Collet Serra yang terbiasa mengarahkan film-film thriller yang dibintangi Liam Nesson. Adam dibintangi sederetan pemain seperti Aldis Hodge, Pierce Brosnan, Noah Centineo, Sarah Shahi, Quintessa Swindell, serta Marwan Kenzari. Mampukah Black Adam mengangkat pamor DCEU yang kini jauh kalah bersaing dengan kompetitornya (MCU)?

“I’m not peaceful. Nor do I surrender.”

Kelompok militan penguasa kota, intergang mencoba untuk mendapatkan artifak ribuan tahun untuk semakin menancapkan kekuasan mereka di kota Kahndag. Bukan hanya artifak yang didapat, namun mereka justu membangkitkan sosok dewa pendendam bernama Teth Adam (Johnson). Dengan kekuatan supernya, Adam semudah menjentikkan jari melumpuhkan ratusan tentara militan beserta alat tempurnya. Aksi Adam menarik perhatian Justice Society of America (JSA) yang mengirimkan Hawkman, Dr. Fate, Cyclone, dan Atom Smasher untuk membekuknya.

Jauh sebelum film ini rilis, carut marut produksinya sudah ramai di sosial media. Keputusan untuk tidak memasukkan sosok Shazam yang memiliki relasi kuat dengan Black Adam bisa jadi adalah kesalahan besar. Penonton yang tidak mengikuti komiknya tentu bakal bingung dengan plotnya karena tokoh penyihir dalam Shazam pun muncul pula dalam plotnya. Tidak adanya karakter Shazam, jelas merupakan strategi internal DCEU, tak perlu berkomentar banyak. Dengan ketergesaan eksposisinya (latar belakang cerita), bisa jadi cukup untuk mendukung plotnya yang hanya berisi aksi, aksi, dan aksi. Dominasi aksi yang sama sekali tidak butuh latar cerita, demikian pula dengan JSA. Di mana mereka selama kejadian-kejadian besar sebelumnya?  Bisa jadi Dr. Fate luput meramalnya.

Baca Juga  Home Team

Lalu lantas bagaimana aksinya? Dominasi aksi sebanyak 80% durasinya, memang memberikan pertunjukan efek visual yang megah, namun amat melelahkan. Motif aksinya yang membuat segalanya menjadi hambar akibat tak ada ancaman yang kuat. Aksi (gaya tarung) Black Adam pun boleh dibilang repetitif karena siapa yang mampu menang melawannya? Pengadeganan (tribute) western ala The Good, the Bad, and the Ugly jelas terlihat konyol karena kekuatan yang tak sebanding, untuk apa dilakukan? Untung saja, penampilan dua sosok superhero baru sedikit menolong, yakni Hawkman dan Dr. Fate. Dua tokoh ini memberi warna berbeda melalui gaya tarung mereka yang unik. Dua tokoh super ini adalah hal terbaik yang ada dalam film ini.

Eksposisi yang lemah juga semakin buruk dengan dialog-dialog yang seringkali membuat saya tertawa geli. Banyak hal yang dimaksudkan sebagai humor justru efeknya sebaliknya. Sama sekali tidak lucu. Lalu sang bocah cilik, Amon, duh, dialognya sungguh menganggu dan tak nyaman di telinga. Lucunya, Adam pun seringkali menanggapinya. Lagi-lagi, satu sosok yang mampu berdialog serius hanyalah Dr. Fate. Sang bintang kawakan, Brosnan membawa karismanya ke sosok penyihir ini dengan penuh pesona.

Pertunjukan aksi nonstop tanpa henti yang melelahkan dengan eksposisi lemah, humor tak berselera, dialog yang kaku, serta puluhan lubang plot, kecuali untuk dua sosok super yang menawan, dan ini pun bukan Black Adam. Aksinya pun juga banyak tertolong oleh kualitas audio Dolby Atmos di teater yang saya singgahi (Ambarrukmo Jogja, Studio 1). Untuk tata suaranya adalah salah satu pengalaman terbaik yang pernah saya rasakan. Lalu untuk semesta sinematiknya (DCEU)? Untuk bersaing dengan studio kompetitornya jelas sudah telah terlambat, namun belum terlambat untuk merombak segalanya. Naskah adalah sumber masalah utamanya (DCEU). Sungguh mengherankan, sudah sering kali saya nyatakan, mengapa para penulis naskah DCEU tidak merekrut para pembuat naskah film animasi Home Video-nya? The Batman baru lalu pun tidak segan untuk menggunakan formula film animasi panjangnya. Tidak percaya film animasinya begitu superior? Coba tonton saja salah satunya.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaPiggy
Artikel BerikutnyaHunt
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). A lifelong cinephile, he developed a profound passion for film from an early age. After completing his studies in architecture, he embarked on an independent journey exploring film theory and history. His enthusiasm for cinema took tangible form in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience eventually led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched students’ understanding through courses such as Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended well beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, Understanding Film, an in-depth examination of the essential elements of cinema, both narrative and visual. The book’s enduring significance is reflected in its second edition, released in 2018, which has since become a cornerstone reference for film and communication scholars across Indonesia. His contributions to the field also encompass collaborative and editorial efforts. He participated in the compilation of Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1–3 and 30 Best-Selling Indonesian Films 2012–2018. Further establishing his authority, he authored Horror Film Book: From Caligari to Hereditary (2023) and Indonesian Horror Film: Rising from the Grave (2023). His passion for cinema remains as vibrant as ever. He continues to offer insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com while actively engaging in film production with the Montase Film Community. His short films have received critical acclaim at numerous festivals, both nationally and internationally. In recognition of his outstanding contribution to film criticism, his writing was shortlisted for years in a row for Best Film Criticism at the 2021-2024 Indonesian Film Festival. His dedication to the discipline endures, as he currently serves as a practitioner-lecturer in Film Criticism and Film Theory at the Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta, under the Independent Practitioner Program from 2022-2024.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses