Setelah berulang kali gagal secara kritik dan komersial, DC Extended Universe (DCEU) mencoba merubah arah semesta sinematiknya melalui Black Adam dengan dukungan sang superstar, Dwayne Johnson. Adam diarahkan oleh Jaume Collet Serra yang terbiasa mengarahkan film-film thriller yang dibintangi Liam Nesson. Adam dibintangi sederetan pemain seperti Aldis Hodge, Pierce Brosnan, Noah Centineo, Sarah Shahi, Quintessa Swindell, serta Marwan Kenzari. Mampukah Black Adam mengangkat pamor DCEU yang kini jauh kalah bersaing dengan kompetitornya (MCU)?
“I’m not peaceful. Nor do I surrender.”
Kelompok militan penguasa kota, intergang mencoba untuk mendapatkan artifak ribuan tahun untuk semakin menancapkan kekuasan mereka di kota Kahndag. Bukan hanya artifak yang didapat, namun mereka justu membangkitkan sosok dewa pendendam bernama Teth Adam (Johnson). Dengan kekuatan supernya, Adam semudah menjentikkan jari melumpuhkan ratusan tentara militan beserta alat tempurnya. Aksi Adam menarik perhatian Justice Society of America (JSA) yang mengirimkan Hawkman, Dr. Fate, Cyclone, dan Atom Smasher untuk membekuknya.
Jauh sebelum film ini rilis, carut marut produksinya sudah ramai di sosial media. Keputusan untuk tidak memasukkan sosok Shazam yang memiliki relasi kuat dengan Black Adam bisa jadi adalah kesalahan besar. Penonton yang tidak mengikuti komiknya tentu bakal bingung dengan plotnya karena tokoh penyihir dalam Shazam pun muncul pula dalam plotnya. Tidak adanya karakter Shazam, jelas merupakan strategi internal DCEU, tak perlu berkomentar banyak. Dengan ketergesaan eksposisinya (latar belakang cerita), bisa jadi cukup untuk mendukung plotnya yang hanya berisi aksi, aksi, dan aksi. Dominasi aksi yang sama sekali tidak butuh latar cerita, demikian pula dengan JSA. Di mana mereka selama kejadian-kejadian besar sebelumnya? Bisa jadi Dr. Fate luput meramalnya.
Lalu lantas bagaimana aksinya? Dominasi aksi sebanyak 80% durasinya, memang memberikan pertunjukan efek visual yang megah, namun amat melelahkan. Motif aksinya yang membuat segalanya menjadi hambar akibat tak ada ancaman yang kuat. Aksi (gaya tarung) Black Adam pun boleh dibilang repetitif karena siapa yang mampu menang melawannya? Pengadeganan (tribute) western ala The Good, the Bad, and the Ugly jelas terlihat konyol karena kekuatan yang tak sebanding, untuk apa dilakukan? Untung saja, penampilan dua sosok superhero baru sedikit menolong, yakni Hawkman dan Dr. Fate. Dua tokoh ini memberi warna berbeda melalui gaya tarung mereka yang unik. Dua tokoh super ini adalah hal terbaik yang ada dalam film ini.
Eksposisi yang lemah juga semakin buruk dengan dialog-dialog yang seringkali membuat saya tertawa geli. Banyak hal yang dimaksudkan sebagai humor justru efeknya sebaliknya. Sama sekali tidak lucu. Lalu sang bocah cilik, Amon, duh, dialognya sungguh menganggu dan tak nyaman di telinga. Lucunya, Adam pun seringkali menanggapinya. Lagi-lagi, satu sosok yang mampu berdialog serius hanyalah Dr. Fate. Sang bintang kawakan, Brosnan membawa karismanya ke sosok penyihir ini dengan penuh pesona.
Pertunjukan aksi nonstop tanpa henti yang melelahkan dengan eksposisi lemah, humor tak berselera, dialog yang kaku, serta puluhan lubang plot, kecuali untuk dua sosok super yang menawan, dan ini pun bukan Black Adam. Aksinya pun juga banyak tertolong oleh kualitas audio Dolby Atmos di teater yang saya singgahi (Ambarrukmo Jogja, Studio 1). Untuk tata suaranya adalah salah satu pengalaman terbaik yang pernah saya rasakan. Lalu untuk semesta sinematiknya (DCEU)? Untuk bersaing dengan studio kompetitornya jelas sudah telah terlambat, namun belum terlambat untuk merombak segalanya. Naskah adalah sumber masalah utamanya (DCEU). Sungguh mengherankan, sudah sering kali saya nyatakan, mengapa para penulis naskah DCEU tidak merekrut para pembuat naskah film animasi Home Video-nya? The Batman baru lalu pun tidak segan untuk menggunakan formula film animasi panjangnya. Tidak percaya film animasinya begitu superior? Coba tonton saja salah satunya.