Black Panther (2018)

134 min|Action, Adventure, Sci-Fi|16 Feb 2018
7.3Rating: 7.3 / 10 from 850,236 usersMetascore: 88
T'Challa, heir to the hidden but advanced kingdom of Wakanda, must step forward to lead his people into a new future and must confront a challenger from his country's past.

Black Panther adalah adalah film ke-18 belas dari rangkaian seri film Marvel Cinematic Universe (MCU). Black Panther digarap oleh sineas Ryan Coogler dan didominasi para pemain berkulit hitam, seperti Chadwick Boseman, Michael B. Jordan, Lupita Nyong’O, Forest Whitaker, Danai Gurira, Letitia Wright, Anggela Basset, hingga Andy Serkis dan Martin Freeman. Coogler dipercaya sang produser Kevin Feige setelah sukses dengan dua film garapannya Fruitvale Station dan Creed, yang juga bereuni kembali dengan aktor Michael B. Jordan. Bujet film ini sendiri juga tidak tanggung-tanggung, yakni sebesar US$ 200 juta.

Setelah segmen kilas-balik, film dibuka dengan asal muasal negeri Wakanda sehingga bisa menjadi negeri super modern yang menutup diri dari dunia luar. T’Challa yang kini menjadi raja menggantikan ayahnya mendapat masalah lama oleh seorang bernama Ulysess Klaue yang mencuri sebuah artifak milik Wakanda. T’Challa mengejar Klaue hingga ke Kota Busan dan aksi mereka bersinggungan dengan operasi CIA yang dipimpin Agen Ross. Klaue ternyata dibantu seseorang berinisial Killmonger yang ingin menuntaskan dendam lamanya pada negeri Wakanda.

Plot filmnya berlangsung setelah peristiwa dalam Captain America: Civil War. Kita sudah tahu persis siapa sosok Black Panther dan kemampuannya, hanya saja kita tidak tahu latar belakang karakter ini. Negeri Wakanda sendiri sudah disebut-sebut sejak Captain America: The First Avengers, yang merupakan asal logam langka vibranium yang menjadi bahan utama perisai sang kapten. Dalam film ini, semua tentang negeri Wakanda terjawab sudah dan mengapa mereka mengisolasi diri selama ini. Sebuah negeri modern bak Asgard dengan segala teknologinya yang jauh lebih canggih dari dunia luar. Setelah semua peristiwa besar yang terjadi sejak Iron Man muncul, peristiwa New York, hingga Ultron, rupanya tidak menggoda mereka untuk tampil. Mereka bisa membantu tim Avengers dengan amat mudah. Mengutip kata-kata Okoye dalam satu segmen aksi ketika mereka diberondong peluru oleh para musuh, “Huh peluru.. primitif sekali”, ujarnya. Ah sudahlah, urusan rakyat Wakanda mau membantu atau tidak, memang bukan masalah kita.

Semua penggemar film tentunya sudah menonton film animasi The Lion King. Kurang lebih inti kisah Black Panther mirip-mirip dengan film produksi Disney ini. Dari trailer-nya saja, arah plot ini sudah tercium dan tentu saja dengan ekspektasi lebih karena pencapaian film-film MCU sebelumnya yang amat baik. Namun, sungguh tak disangka plotnya ternyata terlalu dangkal konfliknya dengan solusi yang tergesa-gesa. Sosok Killmonger tak dikenalkan dengan cukup kuat dan rasanya kita sudah tahu jika karakter ini berhubungan dengan adegan kilas-balik di awal film. Konflik film hanya terasa sebagai rutinitas yang mudah sekali diantisipasi alur plotnya sejak awal hingga akhir. Adegan aksi yang disajikan unik dan menawan, seperti aksi pengejaran di Busan menjadi terasa kurang menggigit, dan puncaknya adalah anti klimaks di segmen aksi penghujung film. Tidak ada intensitas ketegangan sama-sekali, dan kurang bisa berempati terhadap semua tokohnya karena arah plotnya sudah terbaca amat jelas. Dari sisi naskahnya, rasanya Black Panther adalah salah satu pencapaian terburuk dalam MCU. Di sisi lain, film ini juga tampak sebagai jalan pembuka sebelum Avengers: Infinity War, yang kita tahu bakal berlokasi di Wakanda kelak.

Baca Juga  Alita: Battle Angel

Di luar masalah cerita, Black Panther di luar dugaan memiliki keunikan yang tidak terdapat dalam film-film MCU sebelumnya. Dominasi kasting pemain berkulit hitam untuk semua tokoh utama dan sebagian besar tokoh pendukungnya, belum pernah ada sebelumnya dalam genre superhero (sebut saja yang mendekati ini: Blade, Hancock, dan Spawn) dan ini merupakan terobosan besar bagi genrenya yang bisa berdampak positif bagi industri film, terlebih jika film ini sukses besar. Satu hal lagi adalah sisi feminisme yang kental karena T’Challa dikelilingi tokoh-tokoh perempuan yang berkarakter kuat dan percaya diri. MCU memang telah memiliki sosok Black Widow dan Scarlet Witch, namun amat berbeda dan menyenangkan melihat karakter perempuan berkulit hitam beraksi bahkan berotak jenius bak tokoh Q dalam seri James Bond. Satu hal unik lagi, tentunya adalah eksotisme dan nuansa Afrika, baik lokasi, fesyen, atribut, hingga musik yang membuat warna filmnya amat berbeda dengan film-film MCU lainnya.

Black Panther memiliki kekuatan dan keunikan tersendiri melalui dominasi pemain berkulit hitam, sisi feminisme yang kuat, serta eksotisme lokal, namun sayangnya tidak diimbangi dengan naskah yang kuat. Para pemain telah memberikan kemampuan terbaik mereka baik sisi akting maupun aksi fisik sekalipun minim unsur humor dari dialog. Seperti biasa, pencapaian visual pun sudah tidak perlu banyak komentar seperti halnya film-film MCU lainnya. Lagi-lagi, sebuah pencapaian baik bagi MCU, dengan melakukan terobosan besar dari sisi kasting, dan rasanya film ini bakal sukses komersial. So, kita tunggu saja, Black Panther dan Wakanda bakal muncul tak lama lagi dalam Avengers: Infinity War.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaBunda: Kisah Cinta 2 Kodi
Artikel BerikutnyaEiffel I’m in Love 2
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.