Blade Runner 2049 (2017)

164 min|Action, Drama, Mystery|06 Oct 2017
8.0Rating: 8.0 / 10 from 678,575 usersMetascore: 81
Young Blade Runner K's discovery of a long-buried secret leads him to track down former Blade Runner Rick Deckard, who's been missing for thirty years.

Blade Runner 2049 arahan Denis Villeneuve bisa jadi adalah film yang paling dinanti penggemar film sejati tahun ini. Film ini merupakan sekuel dari Blade Runner (1982) garapan Ridley Scott, yang kini memiliki status “cult” karena berjalannya waktu semakin diapresiasi tinggi. Sekuelnya kini, juga masih dibintangi Harrison Ford dengan latar waktu cerita 30 tahun setelah film pertama dengan Ryan Gosling sebagai tokoh utamanya. Banyak pengamat yang meragukan film ini bisa melampaui pendahulunya, namun sang sineas menjawabnya dengan talentanya yang sangat istimewa. Tiga film pendek juga diproduksi sebagai latar cerita kisahnya yang menggambarkan peristiwa penting yang terjadi di antara film pertama dan sekuelnya ini.

Bagi penonton yang belum menonton dan memahami benar kisah Blade Runner (1982) plus tiga film pendeknya, rasanya bakal kesulitan untuk memahami kisah film ini. Kontinuitas cerita dari film-film ini amat penting untuk bisa menjelaskan banyak hal di film sekuelnya ini. Jika belum menonton, lupakan saja untuk menonton film ini. Durasi 163 menit dijamin akan sangat membosankan.

Bukan hal mudah untuk bisa merangkum jalan kisahnya karena cerita film ini sangat bergantung dari film sebelumnya. Latar cerita kembali dikisahkan melalui teks pada pembuka film yang intinya Blade Runner kembali aktif memburu replicant (Nexus) ciptaan Tyrell Corp. Perusahaan ini diambil-alih oleh Wallace Corp yang kini memproduksi replicant generasi baru yang jauh lebih superior dan manusiawi. Singkatnya, seorang agen Blade Runner bernama K (disingkat) mendapatkan sebuah petunjuk baru setelah ia berhasil memburu seorang replicant. Petunjuk ini, diluar dugaan mengarahkan K ke sebuah rahasia masa lalu maha penting yang amat dicari oleh pimpinan Wallace Corp. Selebihnya adalah spoiler.

Pada film pertama dikisahkan bagaimana manusia mampu menciptakan manusia robot (replicant) yang demikian sempurna sehingga untuk membedakannya dengan manusia pun amat sulit. Replicant (Nexus seri 6) memberontak dan dianggap membahayakan manusia hingga harus dimusnahkan. Sang agen blade runner, Deckard berhasil menjalankan misinya menghabisi replicant yang tersisa, namun ia membawa pergi Rachael, seorang replicant seri 6 terakhir, karena ia jatuh hati dengannya. Hal ini yang menjadi kunci kisah film sekuelnya.

Alur plotnya sendiri berjalan amat lambat, mengikuti K bagaimana ia memburu petunjuk demi petunjuk. Dalam film ini, amat sulit untuk membedakan mana ras manusia dan robot, mana pihak satu dengan pihak lainnya. Semuanya serba abu-abu dan tidak jelas. Jika tidak cermat, kita akan kehilangan arah cerita dengan mudah. Namun, satu hal yang jelas dan menjadi kekuatan terbesar elemen estetik film ini adalah sajian visualnya. Pencapaian CGI, elemen artistik, serta sinematografi boleh dibilang sempurna sehingga tak heran semua aspek ini kelak berjaya dalam ajang Academy Awards tahun depan. Ilustrasi musiknya masih bernuansa sama dengan film lawasnya, serasa membawa kita ke sebuah dunia masa depan serba modern nan suram.

Baca Juga  Copshop

Semua adegan dirancang sangat baik dan elegan melalui shot-shot sang maestro (Roger Deakins) yang terkomposisi dengan sempurna. Sang sineas secara brilian juga menggunakan elemen natural untuk mendukung motif kisah filmnya. Elemen air (hujan, kolam, laut) yang dominan muncul menggambarkan dominasi replicant, sebaliknya api dan warna jingga yang hangat menggambarkan manusia. Kabut/asap menggambarkan dunia masa depan nan misterius. Sementara salju merupakan transformasi dari air yang menggambarkan sebuah evolusi. Adegan Joi dan K yang tengah bermesraan serta adegan hologram Elvis menyanyikan “Can’t Help Falling in Love” disajikan begitu manis dan mudah dikenang.

Kunci cerita Blade Runner sebenarnya ada pada tema manusia dan teknologi ciptaannya. Film fiksi ilmiah yang mengusung tema sejenis sudah banyak, sebut saja 2001: Space Odyssey, seri Terminator, hingga The Matrix. Namun, yang membedakan tema dan kisah Blade Runner (1982) adalah plot dalam cerita filmnya. Film ini adalah sebuah aksi thriller, layaknya plot detektif yang mencari pelaku pembunuhan. Poin filmnya justru ada di akhir, ketika sang robot memberikan monolog termasyhur, “…will be lost in time, like tears in rain”. Mereka hanya ingin hidup lebih lama dan bisa menikmati hari-hari layaknya manusia. Sekuelnya, berbicara lebih jauh lagi. Tidak hanya untuk hidup, namun menciptakan kehidupan (berevolusi).

Blade Runner 2049 menyajikan satu pengalaman visual yang luar biasa dengan pesan kuat yang melebihi film orisinalnya. Untuk apa manusia menciptakan sebuah teknologi jika kelak bakal memusnahkan umat manusia sendiri? Rasanya gejala ini sekarang sudah mulai tampak ketika teknologi justru membuat kita menjadi robot dan jauh dari hakikat manusia. Film ini seolah menjadi ramalan masa datang, bagaimana seharusnya manusia bisa lebih bijak bertindak dengan teknologi yang kita ciptakan. Apapun yang terjadi, entah baik atau buruk, kehidupan pasti akan selalu mencari keseimbangan. “Life finds a way”, kata Ian Malcolm (Jurassic Park).
WATCH TRAILER

Shorts

WATCH TRAILER

WATCH TRAILER

WATCH TRAILERf

PENILAIAN KAMI
Overall
100 %
Artikel SebelumnyaRuqyah: The Exorcism
Artikel BerikutnyaJoJo’s Bizarre Adventure: Diamond Is Unbreakable Chapter 1
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.