Disarankan untuk menonton filmnya sebelum membaca ulasan ini.
Blink Twice adalah film thriller psikologis arahan sineas debutan, Zoë Kravitz yang telah kita kenal sebagai aktris bintang ternama. Film ini dibintangi Naomi Ackie, Channing Tatum, Christian Slater, Simon Rex, Adria Arjona, Haley Joel Osment, Kyle MacLachlan, Geena Davis, dan Alia Shawkat. Bermodal bujet USD 20 juta, akankah sang sineas debutan mampu memberi sentuhan baru bagi genrenya?
Frida (Akcie) dan Jess (Shawkat) adalah sepasang sahabat yang berprofesi sebagai pramusaji. Dalam sebuah acara, Frida terpesona dengan seorang mantan CEO bernama Slater King (Tatum) yang kini tinggal di sebuah pulau mandiri. Frida dan Jess lalu menyelinap pada acara pesta ekslusif yang dihadiri Slater. Satu peristiwa kecil terjadi dan Slater pun dekat dengan Frida. Bahkan Frida dan Jess pun di ajak berlibur ke pulau milik King bersama rekan-rekan dan pasangan mereka. Tanpa diketahui Frida, di sela-sela pesta pora nan mewah, mereka tak menyadari bahaya yang mengancam para perempuan yang ada di sana.
Plot berisi sekelompok muda-mudi yang berkunjung ke pulau terpencil dan terisolasi, untuk genrenya, Â bukanlah sesuatu yang segar. Hanya lazimnya jika film horor, sosok antagonisnya adalah seorang tukang jagal atau psikopat. Blick Twice mencoba mengambil opsi berbeda dengan terus mengulur waktu sebelum alur plot berpindah babak. Kita semua tahu, di balik rutinitas dan pesta pora, terdapat satu ancaman besar yang tinggal menanti waktu untuk hadir. Setelah sekian lama, plot pun berpindah, ditandai dengan hilangnya seorang gadis. Naskahnya terhitung cukup baik untuk memberi rasa penasaran penonton. Jika cermat, penonton tentu menyadari beberapa lompatan adegan yang janggal pada segmen-segmen sebelumnya yang didominasi montage.
Apakah penantian ini sepadan? Tidak juga. Kisah film ini mengingatkan pada Get Out arahan Jordan Peele. Di mana, sang protagonis di terjebak di sebuah rumah mewah yang dihuni satu kelompok cult yang rupanya menginginkan tubuh fisiknya. Babak ketiga berisi klimaks yang sangat menghebohkan dan memuaskan penonton. Blink Twist pun mengisyaratkan sebuah klimaks yang sama, namun jauh dari ekspektasi. Dengan bermodal isu patriarki yang kental, kita mendapatkan kesan bakal disajikan sebuah aksi “balas dendam” yang hebat. Ending-nya boleh jadi memuaskan, namun eksekusinya sama sekali tidak membekas.
Blink Twice, mengandalkan kuat isu dominasi dan kontrol kaum pria, walau eksekusinya kurang mengigit. Walau bertumpu kuat pada subteksnya (isu patriarki), namun terasa janggal ketika kita tahu apa yang menjadi penyebab. Argumennya terlalu lemah dengan menggunakan “herbal” untuk menghapus memori. Apakah betul efeknya secepat itu dan bisa berulang kali menghapus memori? Apakah dampaknya bisa permanen? Ini terlihat amat memaksa. Ya benar, kita tahu ini hanyalah “subteks”, namun pilihan olahan bahan baku alami sebagai racun dan bisa ular sebagai penawar, rasanya kurang bijak digunakan. Sementara untuk sang sineas debutan, ini adalah pencapaian yang sama sekali tidak buruk.