Belum lama, Sisu mengisahkan seorang serdadu tua yang berjibaku dengan tentara Nazi untuk merebut emas miliknya. Blood & Gold kembali berurusan dengan emas berlatar kisah PD II dengan kemasan estetik yang unik. Film produksi Jerman ini digarap oleh Peter Thorwarth dengan dibintangi oleh Marie Hacke, Alexander Scheer, Robert Maaser, Florian Schmidtke, Petra Zieser, serta Roy McCrerey. Film ini belum lama dirilis oleh Netflix pada 26 Mei lalu. Akankah film ini menjanjikan sesuatu yang segar seperti halnya Sisu?

Dengan latar cerita menjelang akhir PD II ini berkisah tentang Heinrich (Maaser), seorang desertir yang diburu oleh peletonnya sendiri. Ia diselamatkan dari maut oleh seorang warga lokal, Elsa (Hacke). Sementara itu, sang pimpinan pasukan Jerman, von Starnfeld (Scheer) mendapat tips tentang adanya emas di kota kecil tersebut. Situasi menjadi semakin pelik ketika beberapa warga pun rupanya mengetahui dan menutupi keberadaan emas tersebut. Heinrich dan Elsa pun terpaksa harus ke kota karena adik Elsa dibawa para tentara ke sana. Situasi panas pun tak terhindarkan di antara segala kepentingan pihak-pihak tersebut.

Sejak awal, aroma spagetti western sudah terlihat kental melalui tone pengadeganan dan musiknya. Plotnya sendiri justru banyak mengingatkan pada film-film arahan Quentin Tarantino dan Guy Ritchie di mana kejutan dan spontanitas menjadi roh dalam pengembangan plotnya. Emas menjadi motif kuat pengikat cerita di antara subplotnya. Serangkaian aksi perkelahian pun disajikan menarik. Namun sayang, eksekusi kisahnya terlalu tanggung dan kurang menggigit. “Kejayaan atau kematian” ujar sang komandan, namun filosofi ini rupanya tidak untuk kisahnya. Bukankah dua protagonis kita layak mendapat apa yang seharusnya mereka dapat, seperti dijanjikan titelnya?

Baca Juga  Public Enemies

Dengan kemasan estetik unik, Blood & Gold mencoba mengemas kisah ketamakan manusia berlatar PD II walau eksekusinya tidak seperti yang dijanjikan. Dengan segala pencapaian dan kemasan teknisnya, film ini sesungguhnya mampu bicara lebih banyak, selevel dengan karya-karya masterpiece macam The Pulp Fiction, Inglorious Basterds, atau Snatch. Film-film Tarantino dan Ritchie ini tidak pernah bicara moral karena semata ini hanya lelucon (satir) yang merefleksikan humanitas yang telah memudar. Film bagi para pembuat film ini adalah sebuah medium yang ideal untuk dieksplorasi secara liar untuk menyampaikan perspektif mereka tentang dunia. Setidaknya, Blood & Gold menawarkan aksi dan gambar-gambar menawan yang cukup untuk menghibur para penikmat genrenya.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaAmerican Born Chinese
Artikel BerikutnyaKandahar
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses