Bodies, series karya Paul Tomalin yang tayang di Netflix, mencoba menarik penonton dengan menceritakan sebuah misteri mayat yang muncul di beberapa masa. Namun alih-alih memberikan sesuatu yang segar, series yang tayang di Netflix ini secara tidak langsung malah mendorong penonton untuk membandingkannya dengan series dengan tema yang serupa.

Cerita Bodies berawal dari sebuah aksi unjuk rasa pada masa kini. Lampu jalan tiba-tiba terbakar dan seorang remaja pria bertindak mencurigakan. Seorang detektif  perempuan, Shahara Hasan (Amaka Okafor)  mengejar remaja tersebut yang diketahui bernama Syed. Di tempat bernama Longharvest Lane, ia menemukan Syed yang berhenti. Di sana ia menemukan mayat pria dewasa tanpa busana. Ada luka tembakan di matanya dan tato misterius di dekat pergelangan tangannya.

Pada masa yang berbeda, tahun 1941, seorang detektif bernama Charles Whiteman (Jacob Fortune-Lloyd) diperintahkan organisasi misterius untuk menyingkirkan mayat. Jenazah tersebut juga punya penampilan yang persis sama dengan yang ditemui Hasan pada masa kini. Aksinya memindahkan mayat gagal karena hampir ketahuan oleh atasannya.

Hal serupa juga dialami oleh Detektif Alfred Hillinghead pada tahun 1890. Ia kemudian menemukan potret wajah seseorang yang bersembunyi di ceruk tak jauh dari penemuan mayat, sehingga mau tak mau membuatnya mencurigai sosok tersebut. Di masa depan, tahun 2053, Detektif Iris Maplewood juga menemukan mayat tersebut di  Longharvest Lane.

Tunggu mayat itu bergerak. Rupanya ia masih hidup.

Awal-awal menyaksikan series ini ada semacam harapan untuk menemukan sebuah cerita yang segar. Namun ketika cerita berfokus pada mayat misterius yang muncul di beberapa tempat dan ada organisasi misterius yang terlibat, maka ada dorongan alamiah untuk membandingkannya dengan series dan film serupa yang muncul lebih awal. Series Dark (2020) yang juga tayang di Netflix juga membahas tentang masa-masa serta tokoh di masa lalu yang berkaitan dengan masa depan dan sebaliknya. Begitu juga dengan series  Manifest (2018-2023) dan 1899 (2022), serta film  Cloud Atlas (2012).

Baca Juga  All of Us Are Dead

Meskipun temanya mirip-mirip, namun film ini masih mampu menjaga dinamika film dan memantik rasa penasaran penonton sehingga tetap setia menyaksikan satu persatu episodenya hingga tamat di episode kedelapan. Satu episodenya sendiri berkisar 60 menitan.

Hal-hal yang membuat penonton penasaran selain asal usul mayat tersebut adalah siapa sebenarnya organisasi misterius yang memiliki motto “Know You Are Loved” itu. Selain itu, bagaimana bisa mayat yang sama muncul di tempat yang sama, tapi dalam waktu yang berbeda-beda.

Karakter dan pembawaan tiap detektif juga memberikan lapisan cerita yang menarik. Gaya memecahkan kasus antara Detektif Alfred Hillinghead yang tenang dan Detektif Charles Whiteman yang congkak begitu berlainan, disesuaikan dengan karakter dan juga fasilitas yang dimiliki pihak kepolisian pada masa itu. Selain itu mereka juga memiliki konflik internal sendiri yang memperkeruh upaya mereka menyelesaikan kasus.

Hal serupa juga dialami Detektif Hasan yang berasal dari lingkungan konservatif. Ia dengan naluri keibuannya berupaya untuk mendekati pelaku dengan lembut, meski tak selalu berhasil. Sikap Hasan yang relatif lebih tenang kontras dengan pembawaan Maplewood yang tergesa-tergesa. Namun kemudian tiap karakter mengalami perkembangan masing-masing seiring dengan konflik yang makin pelik

Ya, meskipun cerita mulai terasa kebanyakan, series Bodies yang diangkat dari novel grafis karya Si Spencer, masih memiliki magnet berkat performa pemain dan pengembangan karakter dalam cerita. Desain produksinya juga lumayan, terutama dalam menggambarkan situasi London pada tahun 1890 dan 1941. Hanya ada beberapa hal yang terkesan mengada-ada dan kurang logis. Motivasi organisasi misterius dalam menciptakan situasi yang diharapkan terasa kurang kuat, serta Stephen Graham rasanya ketuaan sebagai pemeran Elias Mannix dewasa.

Bagi yang merasa jenuh dengan cerita-cerita ala Dark dan jalinan ceritanya yang dibuat seolah-olah rumit, maka series ini kurang direkomendasikan. Tapi jika masih ingin tahu cara detektif memecahkan kasus ini maka series ini masih memiliki harapan.

PENILAIAN KAMI
Overall
65 %
Artikel SebelumnyaMoving
Artikel BerikutnyaThe Marvels
Dewi Puspasari akrab disapa Puspa atau Dewi. Minat menulis dengan topik film dimulai sejak tahun 2008. Ia pernah meraih dua kali nominasi Kompasiana Awards untuk best spesific interest karena sering menulis di rubrik film. Ia juga pernah menjadi salah satu pemenang di lomba ulas film Kemdikbud 2020, reviewer of the Month untuk penulis film di aplikasi Recome, dan pernah menjadi kontributor eksklusif untuk rubrik hiburan di UCNews. Ia juga punya beberapa buku tentang film yang dibuat keroyokan. Buku-buku tersebut adalah Sinema Indonesia Apa Kabar, Sejarah dan Perjuangan Bangsa dalam Bingkai Sinema, Antologi Skenario Film Pendek, juga Perempuan dan Sinema.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.