Bohemian Rhapsody (2018)
134 min|Biography, Drama, Music|02 Nov 2018
7.9Rating: 7.9 / 10 from 609,685 usersMetascore: 49
With his impeccable vocal abilities, Freddie Mercury and his rock band, Queen, achieve superstardom. However, amidst his skyrocketing success, he grapples with his ego, sexuality and a fatal illness.

Bohemian Rhapsody merupakan film biografi tentang grup rock legendaris asal Inggris, Queen. Film ini digarap sineas kawakan Brian Singer yang kita tahu beberapa kali mengarahkan seri film X-Men. Film ini dibintangi Rami Malek sebagai Freddie Mercury, dengan didukung Mary Austin, Gwylym Lee, Ben Hardy, Tom Hollander, serta Mike Myers. Seperti nama besar Queen dan Mercury, apakah film ini mampu mengimbangi ketenaran mereka?

Seperti film biografi kebanyakan, kisah filmnya berawal dari bagaimana grup musik ini terbentuk, khususnya sejak Freddie, sang vokalis baru, bergabung bersama mereka. Grup musik yang awalnya bernama Smile, sedikit demi sedikit menuai sukses hingga mereka berganti nama menjadi Queen. Freddie pun mengganti nama belakangnya menjadi Mercury. Sukses tidak lantas mereka berhenti bereksperimen dengan tidak menggunakan formula sukses yang sama hingga album mahakarya mereka, Bohemian Rhapsody tercipta. Queen semakin mendunia, sementara Freddie sendiri terjebak dalam dunianya yang gelap menyebabkan ia semakin jauh dari sahabat-sahabatnya.

Film ini dibuka dengan meyakinkan melalui opening logo 20th Century Fox yang menggunakan petikan gaya gitaris Brian May yang menjadi ciri khas musik Queen. Segmen kilas depan menggambarkan saat-saat menjelang sang vokalis mengisi konser amal dunia bertajuk Live Aid yang digelar di stadion Wembley, London, pada tanggal 13 Juli 1985. Setelahnya, kisah pun bermula dengan latar cerita 15 tahun sebelumnya.

Plotnya memang lebih terfokus pada sang vokalis, sejak awal hingga pasang surut kehidupan asmaranya serta karirnya bersama Queen. Tak banyak latar yang dikisahkan, alur plot bergerak begitu cepat, dan snap! Mendadak Queen kini sukses. Para personil band lainnya, yakni Brian May, Roger Taylor, dan John Deacon tak banyak mendapat porsi cerita. Kehidupan pribadi Freddie sendiri juga tak banyak disinggung bahkan kehidupan homoseksualnya hanya disajikan selintas-selintas. Tak banyak emosi di dalam cerita, walaupun Malek dan aktor-aktris lainnya sudah bermain amat baik. Film ini juga beberapa kali menggambarkan bagaimana proses mencipta lagu-lagu legendaris mereka, seperti Love of My life, Bohemian Rhapsody, Another One Bites the Dust, hingga We Will Rock You. Film ini terasa sebagai satu montage panjang yang menggambarkan kehidupan Freddie dan Queen yang berujung pada satu konser musik terhebat sepanjang sejarah.

Baca Juga  Flamin' Hot

Bagi pecinta Queen, jelas ini bukan masalah. Dijamin mereka bakal menikmati semua momen, terlebih alunan lagu-lagu Queen mengiringi hampir setiap adegannya. Namun, sebagai film biografi, setidaknya film ini mampu mengeksplorasi semua karakternya sedikit lebih dalam. Kita tak tahu, bakat menyanyi Freddie yang luar biasa berasal dari mana, selama itu sebelum bertemu Smile, apa yang ia lakukan selain bekerja di bandara? Lantas bagaimana pula sosok Freddie dari sudut pandang rekan-rekannya, dan pasti mereka pun memiliki masalahnya sendiri.

Momen-momen dramatik memang ada tapi tak cukup kuat untuk menggambarkan karakternya lebih dalam. Semua prosesnya berjalan serba cepat. Pembuat film rupanya memilih berlama-lama pada momen klimaks di stadion Wembley, yang dianggap sebagai penampilan live musik rock terbaik sepanjang masa. Rasanya tak ada seorang pun pecinta musik rock yang tak bakal menikmati momen klimaks ini. What a show! Segalanya terpuaskan di momen ini.

Semua pecinta Queen, termasuk saya sendiri, mustahil tak menyukai Bohemian Rhapsody, namun sebagai medium film, grup musik legendaris ini sepatutnya mendapatkan kisah yang lebih baik. Jika kita mau bandingkan, rasanya Walk The Line serta Straight outta Compton, atau yang kini masih diputar, A Star is Born (walau bukan film biografi) masih jauh lebih kuat dari sisi drama. Membuat pilihan cerita film biografi jenis ini jelas tidak mudah, namun setidaknya saya ingin lebih melihat sosok karakter sang tokoh bukan melihat konser musik utuh yang bisa kita putar melalui piringan DVD kapan saja kita mau.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
75 %
Artikel SebelumnyaBad Times at the El Royale
Artikel BerikutnyaThe Nutcracker and the Four Realms
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.