Sepertinya bulan Oktober ini menjadi bulan debut banyak film drama menarik dari Indonesia, termasuk Bolehkah Sekali Saja Kumenangis yang diarahkan dengan mulus oleh Reka Wijaya. Mengangkat issue kekerasan dalam rumah tangga, film yang dibintangi oleh Prilly Latuconsina, Pradikta Wicaksono, Surya Saputra dan Dominique Sandra ini menyajikan perspektif realistis dalam membahas topik berat nan umum ini.

Beranjak dewasa, Tari (Latuconsina), anak bungsu dari dua bersaudari di keluarganya, bertahan di lingkungan abusive yang diciptakan ayahnya, Pras (Saputra). Setelah kakak perempuannya meninggalkan rumah, tak tahan menyaksikan kekerasan fisik dan emosional yang dialami sang ibu, Devi (Sandra), Tari harus berjuang sendirian. Tak hanya menghadapi masalah rumah, trauma dan keinginannya untuk tidak membuat masalah membuatnya menjadi seorang yes man yang sering dimanfaatkan oleh rekan kerjanya. Pertemuannya dengan Baskara (Wicaksono), seorang pemuda dengan masalahnya sendiri, membantunya perlahan mengumpulkan keberanian untuk merubah diri dan merubah situasinya.

Fokus dari Bolehkah Sekali Saja Kumenangis memanglah kekerasan dalam rumah tangga, dan meskipun ada beberapa subplot lain seperti romansa, dengan aestetik adegan khas film romantis, filmmaker jelas dapat memfokuskan kembali fokus utama cerita dalam film ini dengan sangat mulus. Dengan sound design yang cukup baik, tata kamera yang rapi dan setting artistik yang mendukung realisme cerita, terlihat jelas bahwa film ini dibuat dengan penuh ketelitian dan skill dari segenap jajaran produksi dan aktor dari film ini.

Disamping semua itu, hal pertama yang akan penonton sadari dari film ini adalah betapa realistisnya pengemasan dari film ini. Isu umum yang diangkat membantu film ini mendapatkan kesan relatable yang mungkin dialami banyak orang di dunia ini. Ya, mungkin tidak semua orang mengalami domestic abuse, tapi selalu ada masalah di keluarga yang disinggung dan dieksplor entah itu secara dangkal atau mendalam di film ini, yang menambahkan kesan realistisnya.

Tidak ada hitam dan putih dalam representasi masalah dalam film ini. Setiap karakter memiliki motivasi dan sudut pandang tersendiri yang ditunjukkan dengan subtle dan cukup natural. Contohnya, portrayal Pras sebagai karakter antagonis di cerita ini juga digambarkan secara manusiawi dan empatik. Terlihat bahwa penulis dan sutradara mengerti pentingnya perspektif Pras sebagai salah satu karakter di film ini, meskipun ia adalah karakter antagonis. Reaksinya terhadap kesalahan-kesalahan yang ia perbuat ditunjukkan dengan baik melalui penulisan dan akting dari karakternya.

Baca Juga  Qodrat

Di sinilah letak realisme dari penyajian cerita yang rumit dan penuh subplot menarik ini. Namun ada dualisme dalam plot utamanya yang cukup menarik untuk dibahas, yaitu optimisme dalam memperbaiki suatu masalah.

‘Semuanya akan terselesaikan pada akhirnya’ adalah mindset yang sukses dibangun oleh film ini secara realistis. Namun jika melihat kejadian-kejadian di dunia nyata, tidak semua masalah ada solusinya, dan tidak semua orang akan berakhir bahagia. Dualisme antara betapa optimisnya film ini menyorot masalah, seolah segalanya akan berakhir baik-baik saja, dan kenyataan bahwa di dunia nyata tidak semuanya akan berakhir bahagia memberikan perspektif baru dalam issue umum yang ada di masyarakat ini.

Apabila penonton pernah atau sedang mengalami masalah yang sama dengan masalah-masalah dalam film ini, rasa optimisme itu akan membantu mereka dalam menghadapi situasi mereka. Sebaliknya, mereka yang tidak pernah mengalami masalah dalam rumah tangga akan diberi pengetahuan mendalam tentang bagaimana rasanya berada di situasi itu, dan menumbuhkan rasa empati mendalam untuk menyikapinya.

Keputusan filmmaker dalam mengambil pengemasan yang lebih realistis daripada dramatis memanglah sesuai untuk cerita ini, dan patut dihormati dan dipahami. Dengan kesederhanaannya, film ini mungkin sudah mencapai potensi tertinggi untuk cerita yang disajikan. Dan meskipun mungkin ada kesan bahwa film ini kurang mengambil resiko dalam eksplorasi lika-liku plotnya, Bolehkah Sekali Saja Kumenangis bisa dibilang adalah salah satu contoh dari “Art meant to comfort the disturbed and disturb the comfortable.”

 

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaGrand Tour
Artikel BerikutnyaHere

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.